Lens Of SAN

LENS OF SAN

Opini dan Refleksi Seorang Pencandu Martabak Manis

Artikel

baca dong kak :)

 

Aku pikir aku sedang minum air.
Menenangkan dahaga, menyegarkan jiwa.
Tapi semakin kuteguk, semakin haus rasanya.


Ternyata bukan air.
Ternyata dunia.


Dunia yang menjanjikan ketenangan, tapi menyisakan kekosongan.
Dunia yang menawarkan rasa, tapi tak pernah cukup.


Kita mengejar, berharap, berlari.
Tapi setiap pencapaian hanya membuka pintu kehausan berikutnya.


Mungkin yang kita cari bukan air,
tapi sumbernya.
Bukan dunia,
tapi makna di baliknya.



-anonym

Pernah berada di posisi bingung?
Di antara “ya” dan “tidak”, antara “mendukung” dan “menentang”?
Di antara suara hati dan logika yang saling bertubrukan, hingga pikiran rasanya runyam dan batin terasa lelah?

Setiap manusia pasti pernah.


Kita diberi anugerah akal dan perasaan bukan untuk selalu tenang, tapi untuk diuji dalam dinamika yang terus berganti. Kadang hidup datang seperti ombak pasang yang menghantam keras, lalu surut perlahan meninggalkan ketenangan semu di tepi pantai kesadaran kita. 


Namun sering kali, kita justru enggan melihat pergulatan itu sebagai peluang untuk tumbuh. Kita ingin lekas selesai, lekas tenang, lekas “baik-baik saja”. Padahal, mungkin di sanalah Tuhan sedang mengundang kita untuk belajar mengenali diri.


Saya teringat ucapan seorang teman,

“Masalah dan ujian itu tanda bahwa Tuhan peduli. Ia ingin tahu bagaimana caramu menanggapi.”

Kalimat itu sederhana, tapi menembus. Bahwa ujian bukan semata cobaan, melainkan cara Tuhan berbisik: “Aku masih melihatmu, maka Aku masih mengujimu.”


Dalam buku The Righteous Mind yang baru saya beli di event pameran Semesta Buku x Gramedia, Jonathan Haidt menulis sesuatu yang menggelitik kesadaran saya, 

“Saya tidak mengatakan bahwa kita harus hidup seperti Sen-tsan. Dunia tanpa moral, gosip, dan penghakiman akan runtuh menjadi kekacauan. Namun bila kita ingin memahami diri kita sendiri, perpecahan kita, batas kita, dan potensi kita, kita perlu melangkah mundur, meninggalkan moralisme, menerapkan psikologi moral, dan menganalisis permainan yang sedang kita mainkan.”

Kutipan itu membuka mata, bahwa di balik setiap sikap kita entah mendukung atau menentang selalu ada permainan moral yang sedang berjalan. Kita berdebat bukan semata karena benar atau salah, tapi karena ingin merasa berada di pihak yang lebih benar. Kita membela bukan semata karena paham, tapi karena ingin didengar. 


Dan di titik itulah “pergelutan” menemukan maknanya.
Ia tidak hanya terjadi di forum-forum besar, tapi juga di ruang paling sunyi di kepala kita.
Ada suara lembut yang mengajak berempati, tapi ada pula nalar keras yang menuntut keadilan. Ada hati yang ingin memahami, tapi ada ego yang ingin menang.


Menjadi manusia berarti belajar menyeimbangkan keduanya.
Belajar menimbang tanpa tergesa menghakimi.
Belajar memahami tanpa harus kehilangan prinsip.
Belajar mendukung tanpa harus meniadakan yang berbeda.


Sebab hidup bukan soal selalu benar atau salah.

Hidup adalah tentang bagaimana kita mengelola ruang “di antara” itu — ruang kecil tempat hati, akal, dan iman berdebat, lalu perlahan saling menuntun menuju kedewasaan.


Dan barangkali, di situlah Tuhan paling dekat dengan kita 
bukan saat kita merasa menang,
tetapi saat kita sedang bergelut mencari arah yang benar.

Jalan sempurna semata sukar

bagi yang yang memilah dan memilih. 

Jangan menyukai, jangan tidak menyukai

semuanya akan lantas jernih.


Buatlah perbedaan setipis helaian rambut

Langit dan Bumi pun terpisah. 

Bila kau ingin kebenaran berdiri jelas di depanmu,

jangan mendukung ataupun menantang.


Pergelutan antara “mendukung” dan “menentang”

adalah penyakit akal terburuk.

 

-----


Epilog


Kadang, pergulatan tak perlu segera dimenangkan.
Cukup dijalani dengan jujur, dengan hati yang terbuka dan doa yang tak putus.
Sebab bisa jadi, yang Tuhan kehendaki bukan hasil dari pergulatan itu,
melainkan siapa diri kita setelah melewatinya.


Penulis: Ihsan Zikri



Beli bukunya disini di Event Semesta Buku x Gramedia









Hari ini tidak ada sorak-sorai. Tidak ada perayaan besar. Tapi ada ruang kecil dalam diri yang terasa cukup hangat untuk sekadar duduk, diam, dan merenungi—sudah sejauh mana kaki ini melangkah?


Dua puluh lima.

Aku menyebutnya "tumbuh tahun"sebuah fase di mana aku menyadari bahwa yang bertambah bukan hanya angka, tapi semestinya juga pemahaman, kepekaan, dan kedewasaan.

Bukan juga angka yang harus dirayakan secara ramai-ramai, tapi cukup penting untuk direnungi. Bahwa waktu terus berjalan, dan hidup perlahan mengajarkan bahwa kedewasaan bukan tentang usia semata, melainkan tentang bagaimana kita menjaga arah, menyadari nilai, dan terus bertumbuh meski tak selalu terlihat.

Tumbuh tahun adalah tentang proses, bukan selebrasi.


Perjalanan ke titik ini penuh simpul, ada pencapaian yang membahagiakan, ada kegagalan yang menguatkan. Ada orang-orang baik yang datang sebagai guru, dan ada kehilangan yang menyisakan jeda untuk belajar.


Masih punya ambisi. Masih ingin berkembang, masih ingin melangkah lebih jauh. Tapi mungkin bedanya, ambisi hari ini tidak lagi dibalut oleh ego ingin tampil. Lebih kepada bagaimana menjadi versi terbaik dari diri sendiri—dalam diam yang produktif, dalam kerja yang konsisten, dalam proses yang tidak selalu perlu diumumkan.


Kini mulai belajar bahwa menjadi utuh tidak bisa hanya dengan satu sisi. Maka perlahan mencoba menyeimbangkan:


  • Olah Rasa, agar peka terhadap sekitar dan tetap peduli meski terkadang sekitar memberikan feedback yang tak baik kepada kita. 
  • Olah Pikir, agar tetap tajam, rasional, tidak mudah terombang-ambing oleh arus yang ramai.
  • Olah Batin, agar niat selalu lurus, hati terhubung dengan nilai-nilai yang dalam, dan jiwa tetap kuat meski diuji.
  • Olah Raga, karena tubuh ini pun titipan, dan kesehatan adalah syarat untuk terus berkarya.


Semua itu membantu menjaga hubungan dengan yang diatas (ḥablum-minallāh)—dalam diam, dalam doa, dalam usaha. Juga menjaga hubungan dengan sesama (ḥablum-minannās)—dalam etika, tanggung jawab, dan cara menghargai orang lain. Di usia ini, ingin lebih sadar, lebih adil dalam relasi, dan tidak hanya sibuk mengejar dunia sendiri.


Rasa syukur juga tumbuh lebih jernih. Bukan hanya karena punya, tapi karena sadar bahwa tidak semua orang punya kesempatan yang sama. Bisa belajar, bisa sehat, bisa berkarya, bisa bermakna—itu saja sudah cukup untuk membuatku ingin melanjutkan hari dengan semangat yang baik.


Jika boleh meminta, aku ingin terus diberi kejernihan berpikir, keluasan hati, kesehatan tubuh, dan kesempatan untuk tumbuh dalam kebaikan. Ya, sebagaimana orangtuaku memberikan nama 'ihsan' yang berarti (kebaikan, berbuat baik). Untuk diriku sendiri, untuk orangtuaku, dan untuk siapa pun yang bisa merasakan dampak dari kehadiranku, sekecil apa pun itu.


Dua puluh lima bukan puncak. Tapi ini cukup untuk mengingatkan bahwa waktuku di dunia ini terbatas, dan aku ingin menggunakannya dengan baik. Tanpa banyak riuh, tapi tetap teguh.


Ucapku maaf atas lidah yang berucap menyakiti baik disengaja ataupun tidak untuk semua orang yang pernah berjumpa. 


I wanna say thankyou for me :) 

Teruslah belajar, bergerak, dan berdampak untuk kebermanfaatan dan kebahagiaan orang banyak meski belum terlihat. ✋


Alhamdulillah, Dua Puluh Lima. 

(Ahad, 03 Muharram 1447 H/29 Juni 2025 M).


Picture Angka Canva Design



Beberapa waktu terakhir, dunia kembali diguncang oleh eskalasi konflik militer. Dentuman rudal dari satu negara dibalas dengan serangan udara dari negara lain. Media menyorot ketegangan antara Israel dan Iran—dua negara yang sudah lama menyimpan sejarah permusuhan. Tapi sesungguhnya, kisah seperti ini sudah berulang-ulang terjadi. Mereka pernah saling menyerang pada 2004. Lalu berhenti. Namun, apakah berhenti berarti berdamai?


Jawaban yang jujur adalah: tidak. Dunia terlalu sering keliru memahami “tidak ada perang” sebagai “sudah damai.” Padahal bisa jadi, diam hanya berarti sedang menahan diri, atau menyusun balas dendam yang lebih besar.


Seperti yang ditulis oleh Johan Galtung, tokoh studi perdamaian dunia, dalam bukunya Peace by Peaceful Means (1996):

"Absence of violence is not peace. Peace is the presence of justice and equity."
(Tidak adanya kekerasan bukanlah perdamaian. Perdamaian adalah hadirnya keadilan dan keseimbangan.)

Konflik yang mereda karena tekanan politik, bukan karena hati yang telah berdamai, ibarat api yang hanya tertutup abu. Ia tetap panas. Dan ketika angin dendam kembali bertiup, ledakan itu tak terhindarkan.


Nafsu dan Dendam: Luka Lama yang Tak Diobati

Dalam ajaran Islam, kita diajarkan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Bukan tanpa sebab. Nafsu adalah sumber dari banyak kehancuran, keinginan untuk menguasai, membalas, menaklukkan. Dalam konteks ini, kita bisa merenungi kutipan dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:

"Musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri. Barang siapa mampu mengalahkannya, maka ia telah menang atas peperangan yang sejati."

Peperangan lahir dari peperangan batin yang tak selesai. Ketika pemimpin dan bangsa belum bisa mengendalikan nafsu berkuasa dan keinginan membalas, maka diplomasi hanya jadi jeda sebelum perang berikutnya.

Begitu juga dengan dendam. Dalam bukunya The Anatomy of Peace, The Arbinger Institute menulis:

"Dendam adalah bentuk lain dari keterikatan. Ia membuat kita tetap hidup dalam konflik, bahkan ketika senjata sudah diletakkan."

Dendam menjadikan kita tahan hidup dalam luka. Ia membuat generasi baru tumbuh dalam cerita masa lalu yang tidak mereka alami, tapi mereka rasakan bebannya. Ini mengapa banyak konflik dunia seperti lingkaran setan—tanpa ujung, tanpa penyelesaian.


Ketika Damai Jadi Pilihan Berani
Sering kali kita mengira bahwa damai itu pilihan yang lemah. Padahal, justru damailah pilihan yang paling berani. Karena ia menuntut pengakuan. Ia mengajak manusia menahan nafsu untuk membalas, dan memutus rantai dendam meskipun punya alasan kuat untuk melanjutkannya.

Seperti dikatakan Mahatma Gandhi dalam My Experiments with Truth:

"An eye for an eye only ends up making the whole world blind."
(Mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia menjadi buta.)

Kita hidup di dunia yang sudah terlalu lama buta oleh amarah. Saatnya kembali melihat dengan jernih. Bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa besar negara bisa menyerang, tetapi pada seberapa dalam ia bisa mengampuni.


Penutup: Damai Dimulai dari Dalam
Pada akhirnya, refleksi ini bukan hanya tentang Israel dan Iran, atau negara-negara lain yang berkonflik. Ini tentang kita semua—tentang bagaimana manusia, dalam skala pribadi maupun global, terus-menerus terjebak dalam siklus nafsu dan balas dendam.

Kita bisa belajar dari sejarah, dari kitab-kitab kebijaksanaan, dan dari luka-luka yang belum sembuh di dunia. Tapi yang lebih penting, kita harus mulai berdamai—dengan diri sendiri, dengan masa lalu, dan dengan orang lain.

Karena seperti yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam Twelve Steps to a Compassionate Life:

"Peace is not the absence of conflict, but the ability to cope with conflict peacefully."

Dan kemampuan itu hanya akan tumbuh jika kita cukup jujur untuk mengakui bahwa musuh terbesar kita—adalah diri kita sendiri.

    

    Sedikit review buku karya Edward Said, yang sebelumnya saya tulis untuk memenuhi tugas perkuliahan. buku yang lumayan tebal dan mungkin bagi beberapa orang  sulit untuk dipahami secara langsung konteks tulisannya. 


Buku Orientalisme adalah karya monumental yang terbit pada tahun 1978 oleh seseorang yang bernama Erward W.Said. Said salah satu pemikir yang memelopori kajian pascakolonial. Sebelumnya terdapat beberapa tokoh seperti Aime Cesaire dan Frantz Fanon yang telah melakukan hal yang sama, masing-masing dengan bukunya From Discourse on Colonialism (1995) dan the Fact of Blackness (1952). Namun, yang pertama kali mengkritik ideologi kolonialisme secara diskursif adalah Orientalisme Said. Buku ini menjadi bentuk konsistensi Said untuk mengkaji ketimpangan relasi Timur dan Barat dengan membongkar teks-teks Serta menggugat hegemoni para orientalis Barat yang menganggap Timur sebagai objek.


Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis mengkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara umum, orientalisme telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Wacana orientalisme ini lahir pada masa kolonialisme yang menuai berbagai kritik. Kritik terhadap era kolonialisme yakni yang disebut sebagai pasca kolonialisme.


Biografi Erdward W.Said


Erdward W. Said adalah seorang Kristiani, yang lahir di Yerussalem pada tanggal 1 November 1935. Bagi Erdward Said perjuangan ini bukanlah soal nama baik “agama”, melainkan lebih pada “nilai-nilai “kemanusiaan” yang selama ini masih menjadi barang langkah, apalagi disebuah negeri yang konon kemerdekaan tak akan menemukan jalan keluarnya.  Said memiliki kegelisahan terhadap identitasnya, yang saat itu dia bersekolah di Mesir pasca kekalahan Palestina pada tahun 1947 dengan perpaduan nama Inggris yakni Erdward dan nama Arab yakni Wadie. Di tahun 1951, Said menjadi imigran di Amerika Serikat, dia bersekolah di Northfield Mount Hermont School, dan melanjutkan studinya di Universitas Princeton. Ia kemudian berpindah ke Universitas Harvard, tempatnya meraih gelar master pada tahun 1960 dan doktor pada tahun 1964, keduanya dalam bidang sastra Inggris.


Tiga bab panjang dan dua belas sub bab pendek. Bab I (Ruang Lingkup Orientalisme) merupakan tema besar yang meliputi semua dimensi pokok pembahasan, baik dari aspek sejarah dan pengalaman-pengalaman maupun dari aspek tema-tema filosofis, dan politis. Bab II (Re) Strukturasi Orientalisme) berusaha melacak perkembangan orientalisme modern dengan uraian kronologis yang luas dan juga uraian tentang seperangkat teknik yang lazim diterapkan dalam karya para penyair, seniman, dan cendekiawan terkemuka. Bab III ( Orientalisme Masa Kini ) diawali dengan pembahasan orientalisme pada 1870-an. Periode ini merupakan ekspansi kolonial besar-besaran dan mencapai puncaknya dalam Perang Dunia II. Bagian yang terakhir dari Bab III yakni melukiskan hegemoni Inggris dan perancis menuju hegemoni Amerika.


Orientalisme secara harfiah berasal dari kata “Orient” dan Isme, kata Orient berasal dari bahasa Perancis yang artinya, Timur, dan Isme diartikan sebagai paham. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti “hal-hal yang bersifat Timur” yang cakupannya amat luas. Orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi yang dilakukan oleh selain orang Timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik agama, sejarah, maupun permasalahan sosio kultural. Para orientalis adalah para sarjana yang mengabdikan hidupnya untuk meneliti suatu proyek pengetahuan, yang bertujuan untuk mengenal, mengetahui, menguasai, dan menjajah. Awalnya adalah studi ilmiah yang bersifat akademis, namun kemudian tujuan tersebut ditunggangi dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang berujung kolonialisme. Kemunculan wacana orientalisme secara formal pada abad ke 13 di Gereja Wina ditandai dengan munculnya berbagai lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah Universitas Eropa.


Dalam Bab 1 Edward Said membahas sejumlah konsep kunci yang membentuk landasan argumennya. Salah satu fokus utamanya adalah mendefinisikan apa yang disebutnya sebagai "orientalisme" dan menguraikan perkembangan sejarahnya.


Said menyelidiki bagaimana pandangan Eropa terhadap Timur telah berkembang seiring waktu, khususnya selama abad ke-18 dan ke-19. Dia merinci bagaimana para sarjana, peneliti, dan intelektual Eropa menggambarkan dan memahami dunia Timur dalam karyanya. Said menyoroti cara pandang ini sering kali menciptakan perbedaan biner antara Barat dan Timur, dengan Barat ditempatkan sebagai yang superior dan Timur sebagai yang inferior.


Selain itu, dalam bab ini, Said juga mengeksplorasi keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Dia menunjukkan bahwa orientalisme bukan hanya suatu bidang studi akademis, tetapi juga suatu bentuk dominasi intelektual yang mendukung upaya kolonialisme dan imperialisme.


Bab pertama "Orientalisme" ini membentuk dasar konsep dan argumen Said, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya. Said secara kritis menganalisis bagaimana orientalisme telah membentuk pandangan Barat tentang Timur dan menggambarkan bagaimana pengetahuan tersebut tidak hanya bersifat akademis tetapi juga memiliki dampak besar pada kebijakan dan tindakan politik.


Dasar pemikiran Erward W. Said dipengaruhi oleh Michael Faucault dengan gagasannya yakni pengetahuan, kekuasaan, wacana. Orientalisme memanfaatkan pengetahuan dalam merumuskan masyarakat yang berada dalam kajiannya, disinilah otoritas berperan dalam menentukan kesepakatan. Kebenaran juga ditentukan oleh kelompok yang mengkaji ini, ia mengatur dan memaksa subjek secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan melakukan hal itu melalui wacana. Tokoh yang kedua yakni Antonio Gramschi, ia berpendapat bahwa kelas sosial akan memperoleh keunggulan supremasi melalui dua cara yakni melalui dominasi dan paksaan. Yang keduanya dapat terjadi melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Dominasi yakni kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, ini lah yang disebut sebagai hegemoni.


Hegemoni hakikatnya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme

  1. Kekuasaan politis ( pembentukan kolonialisme dan imperialisme)
  2. Kekuasaan Intelektual ( mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain)
  3. Kekuasaan kultural ( kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetika colonial, yang secara mudah ditemukan di India)

Ruang lingkup orientalisme juga meliputi pembagian wilayah yang dianggap Timur oleh sarjana Inggris, Perancis, dan Jerman dengan wilayah Timur dalam pandangan sarjana Amerika. Timur bagi sarjana Eropa adalah Mesir, India, dan negara-negera Islam di Timur Tengah dan sebagian Asia. Sedangakan Timur bagi orientalis Amerika adalah Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan Filipina.


Orientalisme muncul dengan awal perkembangan yang secara fisikal, dari perkembangan secara fisikal maka barat memiliki ingin pengetahuan dengan melakukan penjelajahan-penjelajahan namun berkembang menjadi imajinatif menjadi gagasan, sehingga Baratlah yang mendefinisikan Timur. Mesir menjadi objek pertama para orientalis inggris untuk meneliti bagaimanakah dunia Timur sebenarnya, Mesir dianggap pusat peradaban Islam saat itu, yang banyak jejak peninggalan yang membuat para Orientalis tertarik untuk menjelajah Mesir yang berakhir pada penjajahan.


Pengetahuan tentang Mesir tak jauh berbeda dengan pengetahuan Balfaur tentang negri tersebut, berbagai masalah jelas timbul seperti perihal inferioritas dan superioritas walaupun hal itu tak di hiraukan oleh Balfour. Ia menganggap bahwa mesir tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan inggris, Superioritas ini dibuktikan dengan adanya pemikiran-pemikiran bahwa Orang Eropa punya watak yang cermat, rasional, dan penalar yang cerdas,luhur sedangkan orang Timur digambarkan sebaliknya yakni sebagai makhluk yang irrasional, pemalas, bermoral buruk, dan makhluk yang mudah dikecoh. Bagi Said identitas seorang individu ataupun suatu bangsa tidak dapat dimampatkan, atau digeneralisasikan menjadi “satu-satunya” identitas. Namun, yang terjadi saat itu adalah, Barat yang seolah-olah membentuk identitas Timur layaknya papan tulis yang jejak-jejaknya bisa dihapus dan kita bisa tinggal di sana dengan menanamkan nilai-nilai yang kita kehendaki.


Tokoh yang bernama Cromer dari Inggris ini menganggap bahwa Orang timur hanyalah sebagai bahan baku manusia yang diurusi oleh koloni-koloni Inggris pada saat itu. Kemajuan besar-besaran dalam orientalisme bersamaan waktunya dengan periode ekspansi Eropa. Sejak tahun 1815 sampai dengan 1914, daerah jajahan Eropa meluas dari kurang lebih 35% menjadi 85% .Dua kerajaan besar yang menguasai yakni Inggris, dan Perancis.


    Pada abad ke 19-20 perkembangan gagasan orientalisme menjadi beragam bersamaan dengan meningkatnya lembaga-lembaga kajian di Eropa seperti Societe Asiatique, The Royal Asiatic Society, Deutsche Morgenlandische, Gesellschaft, dan American Oriental Society. Kajian orientalisme memaksakan pembatasan-pembatasan terhadap pemikiran mengenai dunia Timur sehinggan terwujud suatu pandangan politis yang strukturnya justru mempertajam perbedaan antara “kita” yakni orang Barat dan “mereka” Orang Timur.


    Geografi imajinatif, kemudian menjadi salah satu praktik orientalis untuk membedakan identitas timur dengan barat dalam batas-batas teritorial meskipun sedikit imajiner. Ruang lingkup orientalisme juga meliputi pembagian wilayah yang dianggap Timur oleh sarjana Inggris, Perancis, dan Jerman dengan wilayah Timur dalam pandangan sarjana Amerika. Timur bagi sarjana Eropa adalah Mesir, India, dan negara-negera Islam di Timur Tengah dan sebagian Asia. Sedangakan Timur bagi orientalis Amerika adalah Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan Filipina di kemudian harian.


    Dalam Geografi Imajinatif, Timur yang dikaji adalah Timur yang berupa dunia tekstual. Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan manuskrip-manuskrip yang sifatnya sangat tekstual. Eropa mencoba memisahkan dunia Timur dengan dunia Barat dengan ideology yang dibangun bukan pada kondisi geografisnya namun kondisi geografi yang diimajinasikan. Salah satu bentuk drama dalam teater orientalis adalah karya Barthelemy d’Herbelot, Biblitheque Orientals, yang diterbitkan pada tahun 1697. Timur dianggap sebuah metafora yang dalam wacana barat hanyalah berfungsi sebagai panggung dramaturgi. Dimana Timur adalah pemerannya dan Barat adalah sutradaranya. Tak sampai situ, Barat menemukan deskripsi-deskripsi yang sebagaimana ditemukan dalam Inferno sebagaimana terdapat dalam Bibliotheque karya d’Herbelot yakni menganggap bahwa Muhammad adalah penipu.


    Islam dianggap sebagai agama versi baru yang palsu dari suatu pengalaman yang dikenal sebelumnya, dalam hal ini adalah agama Kristen. Setelah wafatnya Muhammad pada 632, hegemoni militer, budaya, dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Faktor pendorong gerakan orientalisme yang utama adalah agama, kemunculan ini adalah respon dari sentiment para rahib gereja yang ingin menyerang Islam, merusak eksistensi Islam, dan membalikkan fakta kebenaran dalam ajaran Islam.  Agama menjadi awal pintu masuk orientalisme karena agama dianggap sebagai obor pemanas. Pada pertengahan abad 15 R.W. Southern, meyakinkan bahwa para pemikir eropa bahwa “harus ada sesuatu yang dilakukan terhadap Islam” yang mana ditindaklanjuti dengan adanya konferensi yang bertahap yang digagas oleh John, Nicholas, Jean, dan Aenes Silvius. Tujuannya adalah mengkristenkan orang Islam secara besar-besaran dengan narasi yang dibangun yakni Islam adalah agama yang sesat.


    Tokoh Barat yang bernama Soultern menganggap bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu,penjelmaan nafsu seks yang besar, kebejatan moral, sodomi, dan semua bentuk rga sifat khianat lainnya yang semuanya bersumber dari pemalsuan-pemalsuan doktrinalnya, yakni Islam. Eropa menganggap bahwa Timur meniru dalam bentuk pengulangan dan pemalsuan dari mereka yang orisinil (Kristus, Eropa, Barat). Inilah taktik yang digunakan barat untuk memurtadkan kaum Muslim dari agamanya sendiri, dengan meragukan kebenaran Nabi Muhammad dan hadis yang dijadikan sebagai pedoman.


    Seolah kita dipaksa untuk melihat kesesuaian antara bahasa yang digunakan untuk melukiskan Timur dengan Timur itu sendiri. Siapa saja yang menggunakan orientalisme untuk mengkaji masalah-masalah, objek-objek, kualitas-kualitas, dan daerah-daerah yang dicap sebagai “Timur”, pada akhirnya akan menentukan, menamakan, dan bahkan menetapkan perkataan dan pemikirannya dengan sebuah kata atau ungkapan yang kemudian menjadi wacana.


    Pada masa-masa terakhir ini orientalisme bagaimanapun juga mulai tampak melepaskan diri dari belenggu tersebut dan beralih mendekati semangat ilmiah. Penyebaran dan kawasan pengaruhnya Barat merupakan arena gerakan kaum orientalis. Mereka terdiri atas orang-orang Jerman, Inggris, Prancis, Belanda dan Hongaria. Mereka sebagian muncul di Italia dan Spanyol. Sekarang Amerika merupakan pusat orientalisme dan pengkajian Islam. Pemerintah lembaga-lembaga ekonomi yayasan dan bahkan gereja tidak segan-segan menguras dana keuangan dan dukungan. Mereka juga menyediakan fasilitas untuk pengkajian keislaman di universitas-universitas sampai jumlah orientalis menjadi ribuan orang.


Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, beragam bentuk orientalisme yang pertama yakni adanya kontruksi yang bertentangan dalam Orientalisme yang merupakan sebuah paham yang mengkonstruksi antara negara timur dan barat, yang keduanya dijadikan saling bertentangan atau oposisi. Yang kedua yakni fantasi dari barat yang dibuat oleh orang-orang yang menganggap bahwa dirinya lebih unggul dari orang Timur, yang melahirkan suatu superioritas dan inferioritas. Orientalisme yang bersifat Institusional, menurut Erdward Said, orang-orang asia cocok untuk dipelajari dalam dunia akademik. Itulah yang membuat orang barat merumuskan pengetahuan sesuai dengan versinya.


Dalam konstruksi ras dan gender, Said menggambarkan bahwa warna kulit para orientalis Eropa yang secara aktual dan dramatis, meyakinkan dan membedakan mereka dari lautan manusia pribumi seperti India, Afrika, dan Arab adalah penanda kelebihan mereka atas ras lain di Timur.  Inilah tradisi kejayaan kulit putih di daerah koloninya sebagaimana digambarkan dalam puisi Kipling yang berjudul Manusia Kulit Putih:


Inilah jalan yang ditempuh manusia kulit putih, Ketika ia pergi untuk membersihkan suatu negeri. Besi di telpak kaki dan ranting2 pohon anggur di atas kepala. Dan kedalaman di sebelah kanan maupun kiri. Kita telah menempuh jalan itu-jalan yang basah dan berbadai Dengan bintang pilihan sebagai pandu. Wahai, berbahagialah dunia ketika manusia kulit putih menyusurui  Jalan lintas mereka berdampingan.


    Dengan demikian menjadi manusia kulit putih adalah gagasan sekaligus realita yang melibatkan dunia kulit putih maupun non putih. Ia adalah otoritas yang harus dipatuhi oleh orang non kulit putih yakni Timur. Gagasan seperti itu muncul dan mencuat dari lingkungan historis dan budaya yang kompleks dan lazim dalam tradisi para orientalis abad kesembilan belas. Sikap superioritas kulit putih senantiasa menganggap bahwa mereka lebih cendikia, lebih baik, lebih tinggi, dan lebih beradab jika dibandingkan dengan orang kulit berwarna yakni Timur itu sendiri.


Kritik Said terhadap Orientalisme


Pengaruh pemikiran Erward Said tentang Orientalisme , kritik Said terhadap Orientalisme adalah mengenai bagaimana cara orientalisme bekerja. Barat merepresentasikan bahwasanya “Timur” tidak seperti kenyataannya (objektif), melainkan bagaimana seharusnya (subjektif). Barat menganggap bahwa Timur adalah kawasan nun jauh di sana, yang eksotik (dapat dieksploitasi), yang feminine, yang penuh dengan romansa, kenangan, janji-janji, dan imaji-imaji yang disebut dengan Geografi Imajinatif. Paradigma yang digunakan untuk mengkaji budaya ketimuran oleh Barat adalah selalu memunculkan sosok “dunia lain” di mata Eropa.  Timur dianggap hanya sebagai panggung teater yang mana para Orientalisme menjadi sutradara, dan Timur menjadi pemerannya.


Erward dengan lantang mengkritik hegemoni Barat terhadap Timur yang mendominasi dengan mendefinisikan Timur sebagai inferior dan Barat sebagai superior. Barat mengkonstruksi Timur dengan ilmu pengetahuan yang mereka jadikan sebagai alat untuk penjajahan, dan perampasan. Setelah orientalisme berhasil mewujudkan kolonialisme di negara jajahan, maka motif selanjutnya adalah keinginan menguasai pasar-pasar perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, dan kekayaan alam, serta mengekspor sumber daya alam migas, maupun non migas dengan harga semurah mungkin dengan menjadikan kekuasaan politik menjadi kepentingan negaranya.


Dengan adanya kritik pedas Erward W. Said ini maka lahirlah suatu respon untuk memukul wacana Orientalisme oleh pemikir-pemikir yang lain, yakni  dengan munculnya wacana oksidentalisme yakni wacana tentang Barat dengan berbagai aspek oleh Hasan Hanafi.


Sisi positif dari Orientalisme


        Para orientalis adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk mengkaji suatu pengetahuan,  mereka berperan bagi keberlangsungan pengetahuan, keilmuwan, dan peradaban di dunia Timur, misalnya adalah Antony Black yang isinya tentang bagaimana politik Islam berlangsung sejak dari Nabi Muhammad sampai saat ini dan juga lahirnya penulis-penulis penting dalam mengkaji Timur pada abad ke 19, seperti karya-kaya Hugo, Goethe, Nerval, Falubert.


   Dari serangkaian buku Orientalisme yang menjadi pemikiran Erdward Said terhadap suatu identitas, maka masyarakat timur seharusnya punya kemampuan dan hak untuk mengkonstruksi dan membentuk bagaimana citra mereka sendiri tanpa ada tendensi apapun, buku ini juga memberi peringatan bahwa kini sistem pemikiran seperti orientalisme, wacana kekuasaan, dan fiksi-fiksi ideologis, serta kekangan-kekangan dalam pikiran manusia telah diciptakan dan diterapkan tanpa pertimbangan yang bijaksana. 


----

Menurut reviewer buku ini secara umum mengajak kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana pengetahuan dibentuk, oleh siapa, dan untuk tujuan apa. Said mengingatkan kita bahwa representasi budaya bukanlah hal netral, melainkan merupakan hasil dari kekuasaan, politik, dan ideologi tertentu. Oleh karena itu, memahami kritis orientalisme membantu kita mengenali dan merespons cara-cara di mana pengetahuan dibentuk dan digunakan untuk membentuk realitas kita.



Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi


Buku Orientalisme Karya Edward W. Said.



Ruang baru yang menjadi simbol semangat intelektual dan kolaborasi para doktor muda Kalimantan Timur. Synapse Institute hadir sebagai wadah berbagi gagasan, mempertemukan ide-ide besar, dan mendorong generasi muda menuju jenjang pendidikan tertinggi.


Diprakarsai oleh Dr. Ahmad Azazi Rhomantoro, yang juga selaku Founder Tirto Foundation, Forum Ini Bertujuan Mendorong Generasi Muda untuk Menempuh Studi Doktoral.


GoogleMeet, 21 Januari 2025 – Dalam upaya meningkatkan kualitas intelektual dan memperkuat jejaring akademik di Kalimantan Timur, sejumlah doktor muda dari berbagai disiplin ilmu menggagas sebuah forum yang dinamakan Synapse Institute. Forum ini hadir sebagai wadah bagi para akademisi muda yang tengah menempuh studi doktoral, baik yang telah lulus maupun yang masih berjuang di jenjang S3.


First Meet rekan-rekan Forum Synapse Institute 


Bersama rekan-rekannya yang memiliki kepakaran masing-masing yakni kandidat doktor muda Novan Leany, Khairil Rhamadani, Ihsan Zikri, dan lainnya yang sedang menjalani program doktoral, Synapse Institute bertujuan untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan visi program yang dapat mendorong lebih banyak generasi muda Kaltim melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Forum ini juga ingin menjadi penghubung antara potensi akademik dan peluang beasiswa serta riset, kajian literasi berbasis fenomenologi yang dapat dimanfaatkan oleh para calon doktor.


Beberapa program yang menjadi pembahasan yakni:


1. Mendorong Minat Melanjutkan Studi ke S3

Salah satu fokus utama dari Synapse Institute adalah mendorong generasi muda di Kaltim untuk melanjutkan pendidikan ke program magister hingga doktoral. Forum ini menyediakan berbagai informasi terkait motivasi akademik dan profesional bagi mereka yang berminat, termasuk pembahasan mengenai ketersediaan beasiswa dan dukungan komunitas yang dapat mempermudah perjalanan studi S2-S3.


"Studi doktoral bukan hanya tentang gelar, tapi juga tentang kontribusi ilmu pengetahuan yang dapat kita berikan kepada masyarakat. Kami ingin agar lebih banyak anak muda Kaltim melihat studi S3 sebagai jalan untuk berkontribusi lebih pada daerah dan bangsa, lebih khusus daerah provinsi kaltim sebagai sentral pemberdayaan SDM dengan adanya pemindahan IKN". 


2. Pembahasan Jejaring Beasiswa dan Pengalaman Penerima Beasiswa

Selain mendorong studi S3, Synapse Institute juga menjadi sumber informasi tentang berbagai program beasiswa dalam dan luar negeri. Forum ini menyediakan informasi terbaru mengenai peluang beasiswa dan strategi aplikasi yang efektif untuk mempermudah para peserta dalam memperoleh kesempatan pendanaan pendidikan tinggi. Tak hanya itu, forum ini juga menjadi tempat bagi para penerima beasiswa untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi proses seleksi beasiswa yang kompetitif.


"Melalui kolaborasi dengan para penerima beasiswa, kami berharap dapat memberikan gambaran nyata mengenai tantangan dan peluang yang ada dalam meraih pendidikan tinggi di luar negeri,"


3. Sharing Keilmuan dan Kolaborasi Riset

Berangkat dari masing-masing kepakaran menjadi nilai untuk melakukan diskusi kajian.  Synapse Institute juga berkomitmen untuk menjadi tempat bagi anggota forum untuk berbagi riset terbaru. Dalam berbagai pertemuan, akan diadakan diskusi hasil riset, mendiskusikan temuan-temuan baru, dan menjalin kolaborasi dalam penelitian serta publikasi ilmiah.


“Forum ini tidak hanya tentang berbagi pengetahuan, tetapi juga tentang memperluas jaringan akademik. Kami ingin menciptakan peluang kolaborasi riset yang dapat menghasilkan publikasi-publikasi ilmiah yang bereputasi tinggi,”


3. Proyek Menulis Bersama dan Riset untuk Kaltim

Synapse Institute juga memperkenalkan proyek menulis bersama, di mana anggota forum diajak untuk menyusun artikel, jurnal, atau bahkan buku secara kolektif. Proyek ini bertujuan untuk memperkuat keterampilan menulis akademik para anggota sekaligus mempublikasikan riset-riset mereka dalam bentuk yang lebih terstruktur.


Selain itu, forum ini juga mendorong riset yang berbasis pada kebutuhan daerah, dengan fokus pada topik-topik yang relevan untuk pengembangan Kalimantan Timur. Melalui kerja sama dengan berbagai institusi lokal dan nasional, Synapse Institute berambisi untuk menghasilkan riset-riset unggulan yang dapat memberikan dampak langsung bagi perkembangan daerah.


4. Menjadi Wadah Transformasi Intelektual dan Kajian Terbuka Isu Publik

Synapse Institute hadir dengan visi untuk menjadi pusat transformasi intelektual yang memajukan generasi akademisi muda Kalimantan Timur. Forum ini menjadi jembatan yang menghubungkan potensi akademik dengan berbagai peluang pendidikan, riset, dan kolaborasi strategis. Dengan dukungan dari berbagai pihak, Synapse Institute berkomitmen memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan masa depan yang lebih baik melalui pendidikan tinggi, riset unggulan, dan kajian isu-isu publik yang relevan.


“Ini adalah langkah awal untuk membangun ekosistem akademik yang lebih progresif di Kalimantan Timur. Kami berharap lebih banyak anak muda Kaltim yang tidak hanya berani melanjutkan studi hingga jenjang doktoral, tetapi juga mampu memberikan kontribusi melalui riset dan publikasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas,” 


Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Synopse Institute mengundang para intelektual muda untuk bergabung dan bersama-sama menciptakan perubahan positif bagi Kalimantan Timur dan Indonesia.


Lebih lanjut:

https://www.instagram.com/synapseinstitute.official




Lagi-lagi muncul dalam perjalanan. Perjalanan tiga jam di atas rel kereta menuju Tulungagung adalah sebuah ruang refleksi. Di luar jendela, pemandangan silih berganti: jalan setapak, bukit gersang, pohon kamboja berbunga pink yang berdiri anggun di tepi jalan, dan kuburan yang tersembunyi di bawahnya. Pohon itu memberi kesan harapan, tetapi kuburan di bawahnya mengingatkan akan ketidakterdugaan hidup.


Hidup kita sering kali seperti perjalanan kereta ini bergerak dari satu stasiun ke stasiun lain tanpa tahu apa yang menunggu di depan. Kehilangan sosok yang dicintai, seperti keluarga, adalah salah satu tikungan tajam dalam perjalanan itu. Rasanya seperti kereta tiba-tiba berhenti di tengah padang gersang tanpa alasan. Tapi, sebagaimana kereta akan melanjutkan perjalanannya, hidup pun mengajarkan kita untuk terus bergerak, meskipun dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh.


Saya teringat pada pemikiran Viktor Frankl dalam bukunya Man's Search for Meaning. Ia menulis, "Kehidupan tidak pernah berhenti bertanya kepada kita, dan kita hanya bisa menjawabnya dengan tindakan kita sendiri." Kehilangan adalah pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab dengan keberanian untuk tetap melangkah.


Di momen kehilangan, ide-ide sering menghampiri kita seperti balon udara yang beterbangan, mencari tempat untuk mendarat. Ide tidak datang tanpa alasan; ia membawa misi, seperti pesan dari alam semesta, meminta kita bekerja sama untuk mewujudkannya. Namun, ide butuh komitmen dan waktu. Jika kita tidak peka atau terlalu sibuk berkata, “Nanti saja,” ide itu akan pergi, mencari jiwa yang lebih siap menerimanya.


Sebagaimana yang dikatakan oleh Rumi: 

“Jangan duduk diam; bergeraklah, melangkahlah. Meski kau tidak tahu ke mana, perjalanan itu sendiri akan membawamu ke tempat yang kau butuhkan.”


Poin yang bisa kita ambil dari perjalanan ini:


  1. Hidup adalah Serangkaian Tikungan Tak Terduga
    Pohon kamboja dan kuburan di bawahnya mengajarkan bahwa hidup adalah perpaduan harapan dan misteri. Ketika kehilangan datang, yang perlu kita lakukan adalah tetap bergerak meski pelan, seperti kereta yang melaju di tengah bukit gersang.
  2. Ide adalah Peluang yang Perlu Dirangkul
    Ide datang seperti balon udara, melayang-layang di sekitar kita. Jangan biarkan ide pergi tanpa sempat kita wujudkan. Komitmen kecil yang kita berikan pada ide bisa menjadi awal dari sesuatu yang besar.

  3. Makna Ditemukan dalam Perjalanan
    Seperti yang dikatakan Viktor Frankl, hidup selalu bertanya kepada kita. Jawaban terbaik adalah dengan terus melangkah, meski arah belum jelas. Perjalanan itu sendiri yang akan membawa kita pada makna baru.

  4. Bergerak Adalah Bentuk Penghormatan
    Kehilangan sosok yang dicinta bukan akhir dari segalanya. Bergerak maju adalah bentuk penghormatan kepada mereka, kepada hidup, dan kepada diri kita sendiri.

Seperti kereta yang tak pernah berhenti di satu stasiun, kita juga perlu terus melaju. Pohon, kuburan, rel, dan stasiun adalah simbol bahwa hidup ini adalah perjalanan yang penuh pelajaran. Jika kita cukup berani memberikan waktu dan komitmen, baik untuk ide maupun diri kita sendiri, hidup akan memberi lebih dari yang kita harapkan.


Dah segitu aja, takut bosen bacanya... matur thankyou :)


https://id.pinterest.com/abdumalikh44/




Pernah ngerasa nggak enakan kalau mau nolak ajakan seseorang? Atau sungkan pas dimintain tolong? Kalau pernah, mungkin kamu orang yang nggak bisa mengungkapkan perasaan. Dan itu, tanda kalau kamu punya kecerdasan emosional yang rendah. Di Tulisan ini, kita akan mengulik pentingnya kecerdasan emosional dan gimana cara meningkatkannya.

Di era yang apa-apa kudu instan. Orang-orang akan menjunjung tinggi pengetahuan, mendewakan rasionalitas, melawan keajaiban. Lalu, lupa bahwa ada kecerdasan emosional yang perlu kita libatkan dalam aspek kehidupan kita. Kecerdasan emosional adalah sikap yang cerdas dalam memperlakukan emosi. Orang yang cerdas secara emosi sangat dibutuhkan, apalagi saat ini, hampir semua orang memiliki  kecerdasan intelektual yang tinggi tapi rendah kecerdasan emosionalnya.

Kecerdasan emosional punya fungsi di kehidupan kita, bahkan dalam hubungan sosial kita. Contohnya, jika ada pemilihan pemimpin di suatu perusahaan, orang-orang akan memilih pemimpin yang nggak cuma cerdas secara intelektual tapi juga punya kecerdasan emosional yang baik. Karena mereka lebih suka pemimpin yang peduli, ngehargain, nggak egois, ngerti keadaan dan kondisi mereka.

Ciri orang yang rendah secara emosional biasanya nggak peka, egois, pendengar yang jelek, cenderung menyalahkan orang lain atas perasaannya yang negatif, suka memotong pembicaraan, suka bila orang lain lebih buruk daripada dirinya, suka makan seblak dan masih banyak lagi. Ini nggak hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang lain.

Daniel Goleman, jelasin kalau kecerdasan emosional itu terdiri dari empat aspek:

1. Kesadaran diri

Kamu tahu apa yang kamu rasain, kamu tahu kalau kamu lagi sedih, kesal, cemas, senang...

2. Manajemen diri

Kamu bisa mengelola emosi mu ketika ada sikap, perilaku, situasi yang negatif maupun positif

3. Kesadaran sosial

Kamu punya empati, empati itu nggak cuma tahu pikiran dan perasaan seseorang tapi juga peduli dengan mereka

4. Manajemen sosial

Kamu jadi orang bijak, kamu bisa menangani permasalahan dengan baik, jadi pendengar yang baik, jadi komunikator yang baik.

Hati-hati punya kecerdasan emosional yang rendah. seseorang bisa mempengaruhimu dengan mudah. Pengemis yang bawa anak bisa mempengaruhi kita untuk mengasihi dan memberi. Program TV yang menayangkan kisah sedih akan lebih menarik karena bisa mempengaruhi emosi penonton. Bahkan orang yang nggak bisa mengungkapkan cintanya, muda buat dimanfaatin.

Nggak seperti kecerdasan intelektual yang hampir tidak berubah sepanjang hidup kita, kecerdasan emosional dapat berubah dengan dipelajari atau dibangun. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan emosional kita adalah dengan membaca karya sastra, Novel.

"Membaca novel dapat membantu orang lebih memahami orang lain dan dunia. Semakin banyak membaca novel, semakin banyak persepektif yang dapat diserapnya. Sedangkan dasar dari empati itu sendiri haruslah kemauan untuk mendengarkan perspektif orang lain." – Raymond Mar

Dengan membaca novel kita bisa menemukan sudut pandang yang berbeda dari tokoh, latar belakang, situasi, atau peristiwa yang terjadi di cerita. Novel membagikan kepada kita emosi yang kadang-kadang nggak pernah kita temui di kehidupan. Novel punya pesan moral dan dilema moral untuk dipelajari. bagaimana sikap dan keputusan kita ketika menghadapi situasi yang sulit.

Banyak dari kita lebih memilih visual daripada tulisan, karya sastra film daripada novel. Nggak mau susah-susah berimajinasi. Karakteristik manusia zaman sekarang, Pragmatis. Memang, film bisa mempengaruhi emosi kita, bisa bikin kita nangis, sedih, tegang... tapi rasanya berbeda dengan membaca novel. Novel ngajak kita buat berpikir, masuk lebih dalam ke situasi tokoh, memecahkan konflik bersama-sama. Pembaca seperti hadir ke dalam cerita.

Ada kata-kata yang menarik soal sastra:

"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai."– Pramoedya Ananta Toer

Yaudah, itu aja. Makasih semuanya...


Penulis: Ahmad Hanif

Kunjungi websitenya: ahmadhanif.com



https://id.pinterest.com/pngtree/


Ketika lentera yang menerangi masa depan tak lagi dihargai, mungkinkah kita masih mampu berjalan menuju terang? ucapku dalam benak,


Diperjalanan hari ini yang hampir saja terlupakan, mencoba menyempatkan dan merefleksikan dalam bentuk tulisan singkat mengenai Hari Guru.  Hari Guru seharusnya menjadi momen penuh syukur untuk mengenang jasa mereka yang tak kenal lelah membimbing langkah kita. Namun, di balik kemeriahan perayaan, ada realitas yang sering luput dari perhatian, guru-guru yang bertahan dalam sunyi, berjuang di tengah keterbatasan, dan kadang kala harus menghadapi ketidakadilan. Kasus Supriyani di Konawe Selatan adalah salah satu cerminan getirnya kondisi ini seorang guru honorer dengan gaji hanya Rp300.000 per bulan, dituduh menganiaya anak dari seorang oknum polisi, dan harus menghadapi proses hukum yang melelahkan sebelum akhirnya dinyatakan tidak bersalah.


Refleksi ini mengajak kita merenungkan,

Sudah sejauh mana kita benar-benar peduli terhadap mereka yang telah mencurahkan jiwa dan raga untuk membangun masa depan bangsa?


Hari Guru Nasional tahun ini membawa kabar yang menggugah hati: Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, akhirnya dinyatakan bebas setelah menghadapi tuduhan menganiaya anak dari seorang oknum anggota polisi. Kasus ini berakhir setelah proses persidangan selama sebulan, di mana pada Senin (25/11/2024), Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan bahwa Supriyani tidak bersalah atas tuduhan pemukulan. Putusan ini berdasarkan bukti dan keterangan saksi yang menguatkan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan.


Namun, kasus ini menyisakan luka yang mendalam dan membuka mata kita terhadap realitas kehidupan para guru honorer. Supriyani, yang digaji hanya Rp300.000 per bulan, menjalankan tugasnya dengan segala keterbatasan. Ia harus menghadapi tuduhan berat dan proses hukum yang melelahkan, padahal tanggung jawab yang diembannya adalah mendidik generasi bangsa. Kisah ini bukan hanya soal ketidakadilan, tetapi juga potret bagaimana profesi guru, terutama honorer, masih berada dalam posisi yang rentan baik secara hukum, kesejahteraan, maupun penghormatan sosial.


Kompleksitas persoalan ini semakin terasa jika kita melihat kasus serupa di berbagai daerah. Guru sering kali menjadi korban kriminalisasi karena ketidakjelasan regulasi atau miskomunikasi dengan masyarakat. Di sisi lain, kesejahteraan guru, terutama honorer, masih jauh dari kata layak. Gaji yang tidak memadai dan beban kerja yang berat menjadi realitas pahit yang mereka hadapi setiap hari. Belum lagi stigma negatif dan kurangnya penghormatan terhadap profesi ini, seperti kasus di mana guru dilaporkan oleh orang tua hanya karena memberi hukuman mendidik.


Melihat kondisi ini, perlindungan hukum bagi guru menjadi kebutuhan mendesak. Revisi kebijakan pendidikan harus memberikan ruang aman bagi guru dalam menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan kriminalisasi. Pendampingan hukum perlu disediakan, terutama bagi guru honorer yang rentan menghadapi masalah hukum. Selain itu, masyarakat perlu diedukasi untuk lebih memahami peran guru sebagai pembentuk generasi masa depan, sehingga konflik dan kesalahpahaman dapat diminimalkan.


Hari Guru seharusnya bukan hanya perayaan, tetapi juga momentum refleksi bagi kita semua untuk mendukung para pendidik yang menjadi pilar kemajuan bangsa. Dukungan konkret berupa peningkatan kesejahteraan, perlindungan hukum, dan penghargaan adalah langkah nyata yang harus segera diwujudkan.

by keyxx

Guru, terima kasih telah bertahan meski sering terlupakan. Supriyani dan para guru lainnya adalah inspirasi tentang keteguhan hati di tengah berbagai tantangan. Kami berharap, kelak setiap langkah kalian dilindungi, dihargai, dan dirayakan. Dari tangan kalian, cahaya pengetahuan terus menyala untuk menerangi bangsa ini.

Terima kasih telah bertahan, wahai pahlawan tanpa tanda jasa.

Dari kami, penikmat jasamu.


Haii, wahai Sang Pemilik Segala
Berjalannya waktu semakin berlalu
Apakah aku yang terlalu jauh
Atau ilusi ini hanya ujian-Mu,
Seperti pelangi setelah deras hujan?


Haii, kumemanggil dalam sunyi
Meski tak jarang terdengar sepi
Namun hati tahu, Engkau tak pernah pergi
Hanya diriku yang lemah menahan diri


Ah, mungkin aku yang terlanjur jauh
Terombang-ambing di lautan dosa
Mengabaikan tanda kasih-Mu yang nyata
Apakah aku yang tak cukup teguh?


Kupanggil nama-Mu berulang-ulang
Bersama air mata dan getar doa
Mempertanyakan yang sebenarnya telah jelas
Namun hati rapuh, tak mampu memahami makna


Haii, Engkau Yang Maha Penyayang
Mampukah aku mendekap kasih-Mu lagi?
Aku tak ingin mati rasa pada ampunan-Mu
Biarkan aku hidup, meski penuh luka di jalan-Mu


Jika jarak ini hanyalah peringatan
Ajari aku untuk kembali mendekat
Jika waktu ini adalah ujian
Teguhkan hatiku agar mampu bertahan


Haii, sempurnakan diriku dalam naungan cinta-Mu
Bukan untuk kesombongan atau kelalaian
Tapi untuk menjadi hamba yang taat
Yang menjaga asa dan menghidupkan cahaya iman.


Dan di sabtu malam ini, ya Rabb
Kala langit menyelimuti bumi dengan gelap
Kuhadapkan segala resahku pada-Mu
Sang Pemilik Cinta yang tak pernah layu


Jika malam ini adalah pengingat
Jangan biarkan hatiku hilang arah
Jika sabtu ini adalah rahmat
Tuntun aku untuk terus bersyukur tanpa lelah


Aku titipkan seluruh langkahku
Pada-Mu yang Maha Tahu
Semoga esok bukan sekadar cerita baru
Tapi lembar yang lebih dekat dengan-Mu.


By Anonym


https://id.pinterest.com/pin/2744449763085454/



Picture by democrazy.id

Pada Rabu, 16 Oktober 2024,  Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM saat itu, dinyatakan lulus ujian terbuka doktor dari pascasarjana Kajian Strategik dan Global di Universitas Indonesia, Depok. Disertasi Bahlil berjudul Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia. Bahlil bukan satu-satunya tokoh atau politisi yang berhasil meraih gelar doktor akhir-akhir ini. Setidaknya ada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, juga meraih gelar doktor dari pascasarjana Kajian Strategik dan Global UI dan Ketua Umum Partai Demokrat, AHY dari PascasarjanUniversitas Airlangga. Kita berpikir positif saja bahwa di tengah-tengah kesibukannya mereka masih sempat kuliah, walau sebenarnya sudah tidak perlu


Menjadi doktor sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa dan bisa dilakukan oleh siapa pun asal mau melanjutkan kuliah ke jenjang S3, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, dan mengikuti semua prosedur yang ditentukan. Yang menjadi persoalan ialah usai kelulusan, disertasi Bahli menjadi polemik di kalangan masyarakat. Pasalnya, Bahlil menyelesaikan studi doktor hanya dua tahun atau empat semester, yang tergolong sangat singkat. Malah Ariel Heriyanto (Kompas, 9/11/2024) menyebutnya super-singkat. Selain itu, Bahlil lulus dengan predikat cumlaude, sebuah prestasi puncak yang biasanya tidak mudah diraih. Banyak yang mempertanyakan proses pendidikan Bahlil, kapan kuliahnya, kapan penelitiannya, kapan nulis di jurnal sebagai persyaratan ujian, bagaimana proses pembimbingannya, dan sebagainya. Ada yang yang menuduh sebagian disertasi Bahlil adalah plagiasi. Bahkan 34 orang alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI mengajukan  petisi kepada UI untuk mengkaji ulang pemberian gelar doktor kepada Bahlil.


Biasanya studi doktor menempuh waktu lebih dari dua tahun, atau paling tidak tiga tahun, atau enam semester. Sebab, di program S3 mahasiswa harus menempuh beberapa tahapan studi, mulai kuliah teori, ujian kualifikasi, menyusun proposal, ujian proposal, melakukan penelitian, seminar hasil, ujian tertutup, hingga akhirnya ujian terbuka.  Studi Bahlil tergolong sangat kilat sehingga menimbulkan banyak tanda tanya. Saya sendiri menyelesaikan studi doktor selama lima setengah tahun. Malah jika dihitung sampai ujian terbuka, saya memerlukan waktu studi hampir enam tahun. Terhitung sangat lama, maklum sambil tetap bekerja di kampus.


Polemik kelulusan doktor Bahlil  masih belum usai. Kompas (9/11/2024) memuat tulisan Ariel Heryanto yang berjudul Mendadak Doktor yang berisi cibiran bagaimana seorang politisi, bukan dosen, berambisi meraih gelar doktor sekilat itu sehingga martabat universitas digugat. Universitas Indonesia temapt studi Bahlil kena geathnya, karena dituduh telah mengkomersialkan pendidikan doktor. Jika tuduhan itu benar, sangat disayangkan karena UI merupakan barometer perguruan tinggi di Indonesia yang mesti menjaga marwah akademik. Para petinggi UI, mulai Rektor, Ketua senat, Ketua dewan guru besar, Ketua wali amanat hingga promotor  harus turun tangan untuk menangani masalah tersebut hingga akhirnya keluar pernyataan resmi dari pihak UI bahwa proses pendidikan dan penulisan disertasi Bahlil sudah sesuai aturan. Diinformasikan bahwa Bahlil mengikuti program doktor UI by research, jadi tidak perlu kuliah. Di beberapa perguruan tinggi memang ada program doktor by research, dan itu tidak menyalahi aturan


Kendati pihak UI telah mengeluarkan pernyataan resmi, polemik masih berlanjut. Pada 6 November 2024 adsurat keberatan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang ditujukan ke pihak UI yang isinya menolak pencatuman nama JATAM dalam disertasi tersebut yang disebut sebagai sumber data. Terkait surat keberatan JATAM, ada pertanyaan. Yang dipersoalan JATAM itu prosedur wawancara oleh dua orang yang mengaku sebagai peneliti atau substansi wawancaranya. Jika substansi, berarti data. Secara metodologis jika data bermasalah, temuan disertasi juga bermasalah. Sebab, data merupakan bagian inti dalam penelitian di mana peneliti menarik kesimpulan. Sindiran terhadap disertasi Bahlil datang dari BEM UI yang membuat pamlet dengan tulisan Jasa Membuat Disertasi Kilat dengan mencantumkan no HP yang bisa dihubungi.


Picture by wartakota.tribunnews.com

Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud memperpanjang polemik dan sama sekali tidak bertujuan mengintervensi proses penelitian, pembimbingan, dan ujian Bahlil. Saya tidak mengenal Bahlil secara pribadi. Saya mengetahui Bahlil sebagai seorang menteri. Saya tidak membaca disertasi Bahlil secara utuh, kecuali secara sekilas membaca soft file naskah lewat media sosial. Jadi, saya tidak punya kepentingan apa pun dengan disertasi Bahlil. Saya juga tidak bermaksud membela atau mendeskreditkan Bahlil atau para pihak yang mempersoalkan disertasinya.  Sebagai  dosen matakuliah Metodologi  Penelitian, khususnya  metodkualitatif, hanya saya ingin memberi catatan disertasi tersebut dari sisi teori-teori metodologi penelitian sesuai yang saya pahami dan ajarkan selama ini. Jadi murni akademik.

Membaca sekilas judul dan rumusan masalah disertasi Bahlil, siapa saja yang pernah belajar metodologi penelitian dengan sangat mudah memahami bahwa dalam penelitiannya Bahlil menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki syarat-syarat tertentu yang berbeda dengan pendekatan kuantitatif. Salah satunya ialah ia memerlukan waktu lebih lama daripada kuantitatif. Untuk mengumpulkan data kualitatif agar mendapatkan data melimpah dan peneliti bisa memahami subjek penelitian secara komprehensif, menurut Paton (1990), diperlukan waktu antara enam bulan hingga dua tahun. Atas polemik tersebut, dari pengamatan sekilas terhadap disertasi, saya mengajukan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

1Teknik utama pengumpulan data kualitatif adalah wawancara, observasi, dokumentasi, dan kadang-kadang FGD (Focus Group Discussion) yang semuanya memerlukan waktu cukup panjang. Siapa yang diwawancarai, bagaimana cara memilih orang yang diwawancarai (informan), berapa jumlahnya, bagaimana wawancara dilakukan, apa saja yang ditanyakan, di mana wawancara dilakukan. Itu baru dengan satu orang informan. Bagaimana jika informannya banyak? Begitu juga observasi, perlu menjadi pertimbangan apa yang diobservasi, untuk memperoleh informasi apa, berapa lama observasi dilakukan, dan sebagainya. Apa semua telah dipertimbangkan dan diuraikan sangat rinci oleh Bahlil di bagian metode penelitian? Kita tidak tahu karena tidak membaca naskahnya.

2.  Teknik pengumpulan data kualitatif tidak dilakukan sekali jadi, sebagaimana dalam penelitian kuantitatif melalui kuesioner. Sekali kuesioner disebar dan kembali dengan jawabannya tidak perlu  ada  kuesioner  lagi. Data dari kuesioner juga tidak perlu ditriangulasi, sebab apa pun yang telah terekam atau terjawab dipercaya sebagai data sah. Pengumpulan datkualitatif dilakukan secara siklus, artinya bisa berkali-kali seorang peneliti mewawancarai informan jika hasil wawancara dirasa kurang meyakinkan atau meragukan. Wawancara baru dihentikan jika peneliti sudah yakin bahwa hasilnya dapat dipercaya atau kredibel.

3.   Jika data telah terkumpul lewat teknik-teknik tersebut, kapan menulis hasilnya untuk menjadi transkrip yang kemudian diolah atau dianalisis?. Jika telah ditranskrip, kapan dan bagaimana derajat keabsahan data dilakukan? Apa metode validasi keabsahan data yang digunakan? Apa melakukan triangulasi atau memperpanjang waktu bersama subjek penelitian?

4. Tujuan utama penelitian kualitatif ialah untuk memahami perilaku orang atau subjek penelitian. Untuk bisa memahami perilaku subjek, seorang peneliti kualitatif wajib berinteraksi secara intensif dengan subjek atau partisipan penelitian. Bahkan dalam penelitian kualitatif jenis Grounded Research, peneliti mesti hidup bersama subjek dalam waktu cukup lama.   Ingat peristiwa seorang antropolog dan jurnalis Amerika bernama Wyn Sarget pada 1973 menikahi Ketua Suku Dani, Papua, karena ingin mengetahui lebih jauh  tentang budaya masyarakat Papua.  Peneliti kualitatif mesti memiliki jiwa vitalis sebagaimana ditunjukkan Wyn Sarget tersebut, yakni kemauan untuk berkorban dalam segala hal, demi ilmu pengetahuan yang ditekuni. Apa Bahlil berjiwa vitalis? Kita tidak tahu.

5.   Salah satu syarat penelitian kualitatif ialah peneliti harus memiliki data melimpah (rich data). Menganalisis data yang melimpah tentu tidak mudah,  memerlukan waktu lama, dan sangat menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Apa Bahlil memiliki data yang melimpah? Kita tidak tahu.

6.  Jika tidak salah Bahlil  mengajukan  empat  pertanyaan  penelitian  dalam disertasinya. Karena menggunakan pendekatan kualitatif, dari empat pertanyaan tersebut masing- masing mesti dijawab secara elaboratif berdasarkan data. Apa masing-masing pertanyaan telah melahirkan proposisi minor? Karena ada empat pertanyaan, maka mestinya ada empat proposisi minor sebelum akhirnya semua diringkas menjadi proposisi mayor? Ini disebut tahap teoretisasi dalam penelitian yang memerlukan waktu lama karena untuk bisa melahirkan proposisi seorang peneliti mesti melakukan kontemplasi. Apakah Bahlil melakukannya? 

7.  Pada Bab II, jika tidak salah, Bahlil memulai uraiannya dengan menulis Landasan Teori.Dengan menyebut teori sebagai landasan, berarti penelitian Bahlil menggunakan paradigma PostpositivistikDengan demikian, disertasi diakhiri dengan sebuah temuan teoretik yang disebut konstruksi teori. Apa disertasi Bahlil berakhir dengan konstruksi teori berdasarkan teori yang digunakan sebagai landasan? Jika iya, apa bentuknya? Kita tidak tahu.

8.  Implikasi dari penelitian berparadigma postpositivistik ialah untuk validasi temuan atau simpulan peneliti wajib melakukan negosiasi temuan dengan para ahli sesuai topik yang diteliti. Apa Bahlil melakukannya? Jika iya, dengan siapa, kapan, di mana, dan apa hasilnya? Kita tidak tahu.

9.   Terakhir terkait dengan keberatan dari pihak JATAM yang keberatan namanya disebut sebagai sumber data, jika benar itu persoalan serius. Mengapa? Sebab, menurut informasi dari JATAM sekitar bulan Agustus 2025 ada dua orang yang datang ke JATAM mengaku sebagai peneliti hilirasi tambang nikel dan meminta wawancara. JATAM menduga dua orang tersebut ada kaitannya dengan penelitian Bahlil. Jika benar, berarti Bahlil menyuruh orang lain untuk melakukan wawancara dengan pihak JATAM atas nama dirinya. Secara metodologis ini kesalahan fatal. Sebab, menurut teori-teori dalam metodologi penelitian yang selama ini saya pelajari dan saya ajarkan tidak boleh wawancara diwakilkan. Yang melakukan wawancara harus peneliti sendiri sebagai instrumen utama. Tidak sama dengan kuesioner yang bisa diwakilkan ke orang lain untuk menyebarkannya karena kesibukan atau alasan yang lain. Apa benar Bahlil menyuruh orang lain untuk wawancara dengan sumber data atas nama dirinya? Jika iya, berarti ada teori baru dalam penelitian kualitatif bahwa wawancara bsia diwakilkan. Secara metodologis, ini hal baru dari disertasi Bahlil yang saya belum tahu.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan menyatakan jika pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab dan Bahlil telah menjalankan prosedur penelitian sebagaimana mestinya, ya Bahlil tenang saja dan fokus pada pekerjaannya sebagai menteri. Bagaimana pun Bahlil saat ini bukan sembarang orang. Bahlil adalah pejabat negara (menteri) dan salah seorang tokoh politik sebagai ketua umum Golkar. Wajarlah jika apa pun yang dilakukan mendapat sorotan masyarakat, baik yang pro maupun kontra. Di masyarakat selalu ada pihak yang senang dan yang tidak senang. Tetapi jika prosedur metodologis di atas tidak dilalui, wajar jika disertasi Bahlil mengundang banyak pertanyaan.

Sebagai seorang menteri yang tentu sangat sibuk, mestinya Bahlil memiilih pendekatan kuantitatif dalam penelitiannya, sehingga lulus dua tahun tidak dipersoalkan banyak orang. Dari sisi waktu, pendekatan kuantitatif jauh lebih pendek dibanding pendekatan kualitatif. Bahlil juga bisa menyuruh orang untuk mengedarkan kuesioner kepada responden dan analisis data dilakukan melalui aplikasi lewat jasa analisis data kuantitatif. Semua itu sah secara metodologis. Atau, Bahlil memllih metode penelitian kebijakan (policy research) sesuai tujuannya untuk menguji apa kebijakannya tentanhilirisasi nikel selama ini benar atau salah!



Penulis        Prof. Mudjia Rahardjo
Penyunting  : Ihsan Zikri Ulfiandi