Jawaban yang jujur adalah: tidak. Dunia terlalu sering keliru memahami “tidak ada perang” sebagai “sudah damai.” Padahal bisa jadi, diam hanya berarti sedang menahan diri, atau menyusun balas dendam yang lebih besar.
Seperti yang ditulis oleh Johan Galtung, tokoh studi perdamaian dunia, dalam bukunya Peace by Peaceful Means (1996):
"Absence of violence is not peace. Peace is the presence of justice and equity."(Tidak adanya kekerasan bukanlah perdamaian. Perdamaian adalah hadirnya keadilan dan keseimbangan.)
Konflik yang mereda karena tekanan politik, bukan karena hati yang telah berdamai, ibarat api yang hanya tertutup abu. Ia tetap panas. Dan ketika angin dendam kembali bertiup, ledakan itu tak terhindarkan.
Nafsu dan Dendam: Luka Lama yang Tak Diobati
Dalam ajaran Islam, kita diajarkan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Bukan tanpa sebab. Nafsu adalah sumber dari banyak kehancuran, keinginan untuk menguasai, membalas, menaklukkan. Dalam konteks ini, kita bisa merenungi kutipan dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:
"Musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri. Barang siapa mampu mengalahkannya, maka ia telah menang atas peperangan yang sejati."
Peperangan lahir dari peperangan batin yang tak selesai. Ketika pemimpin dan bangsa belum bisa mengendalikan nafsu berkuasa dan keinginan membalas, maka diplomasi hanya jadi jeda sebelum perang berikutnya.
Begitu juga dengan dendam. Dalam bukunya The Anatomy of Peace, The Arbinger Institute menulis:
"Dendam adalah bentuk lain dari keterikatan. Ia membuat kita tetap hidup dalam konflik, bahkan ketika senjata sudah diletakkan."
Dendam menjadikan kita tahan hidup dalam luka. Ia membuat generasi baru tumbuh dalam cerita masa lalu yang tidak mereka alami, tapi mereka rasakan bebannya. Ini mengapa banyak konflik dunia seperti lingkaran setan—tanpa ujung, tanpa penyelesaian.
Seperti dikatakan Mahatma Gandhi dalam My Experiments with Truth:
"An eye for an eye only ends up making the whole world blind."(Mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia menjadi buta.)
Kita hidup di dunia yang sudah terlalu lama buta oleh amarah. Saatnya kembali melihat dengan jernih. Bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa besar negara bisa menyerang, tetapi pada seberapa dalam ia bisa mengampuni.
Kita bisa belajar dari sejarah, dari kitab-kitab kebijaksanaan, dan dari luka-luka yang belum sembuh di dunia. Tapi yang lebih penting, kita harus mulai berdamai—dengan diri sendiri, dengan masa lalu, dan dengan orang lain.
Karena seperti yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam Twelve Steps to a Compassionate Life:
"Peace is not the absence of conflict, but the ability to cope with conflict peacefully."
Dan kemampuan itu hanya akan tumbuh jika kita cukup jujur untuk mengakui bahwa musuh terbesar kita—adalah diri kita sendiri.
![]() |
| Picture by AI Design |
