Mengolah Rasa dan Raga: Ketika Kehampaan Menghampiri - Lens Of SAN

Mengolah Rasa dan Raga: Ketika Kehampaan Menghampiri

Mengolah Rasa dan Raga: Ketika Kehampaan Menghampiri


Ketika Kehampaan Menghampiri,

Suatu malam yang tenang, saat gelapnya sinar lampu kamar yang sudah mati, ponsel bergetar. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul dari sahabat lama yang jarang sekali saya dengar kabarnya. Dengan rasa penasaran, saya membuka pesan tersebut. Ia menanyakan kabar, namun lebih dari itu, ia ingin berbagi cerita tentang sebuah perasaan yang cukup mendalam tentang kehampaan yang menyelimutinya meski hidupnya terlihat baik-baik saja.


Dalam pesan-pesan yang mengalir, ia bercerita tentang pencapaian yang telah diraihnya karier yang mapan, teman yang banyak, bahkan ibadah yang rajin dijalankannya. Namun, di balik semua itu, ada ruang kosong yang menggelayuti hatinya, seakan-akan sebuah kabut tebal menyelimuti jiwanya, menghalangi cahaya kebahagiaan yang seharusnya menerangi hidupnya. 


"Aku tidak mengerti," tulisnya. "Kenapa aku masih merasa hampa? Seolah ada yang hilang meski segala sesuatu di luar terlihat baik." Dalam setiap kalimat, saya merasakan kepedihan dan kebingungan, sebuah refleksi dari perjalanan spiritual yang tak selalu sejalan dengan pencapaian duniawi. 

Perasaan kehampaan ini bukanlah hal yang asing. Banyak dari kita yang di tengah kesibukan dan kesuksesan, sering kali merindukan sesuatu yang lebih—makna yang lebih dalam dalam hidup, sebuah koneksi yang lebih kuat dengan diri sendiri dan dengan Sang Pencipta. Sahabatku adalah cerminan dari banyak jiwa yang berjuang di tengah riuhnya dunia, terjebak dalam paradoks antara pencapaian dan keheningan batin. 


Dalam keheningan kami berdiskusi, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan apa yang kadang sulit dipahami. Apa sebenarnya yang hilang? Apa yang dapat mengisi kekosongan ini? Dialog kami bukan sekadar obrolan biasa, tetapi sebuah perjalanan untuk memahami bahwa terkadang, di balik rutinitas ibadah dan pencapaian, ada pencarian yang lebih dalam yakni pencarian makna yang membawa kita pada kedamaian sejati. 


Kisah ini adalah undangan bagi saya pribadi untuk merenungkan perjalanan batin kita masing-masing. Mencoba menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang benar-benar kita butuhkan, dan menjadikan setiap ibadah bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai jalan untuk mengisi kehampaan yang sering kali tak terucapkan.


Saya jadi teringat salah satu filsuf yang saya gemari dengan karya dan retorik sejuk nan damainya dalam menyampaikan. Ya, Dr. Fahruddin Faiz seorang filsuf dan dosen yang kerap menyelami persoalan jiwa dalam relasi dengan Tuhan, pernah menyebutkan bahwa kehampaan dalam hati bukanlah tanda dari kurangnya ibadah atau lemahnya iman. Menurutnya, kehampaan itu sering kali adalah ruang kosong yang sengaja Tuhan sisakan agar manusia terdorong untuk terus mencari, terus berproses, dan mendekat pada hakikat ketulusan yang sesungguhnya. 


Pertanyaan yang timbul, apakah selama ini "ketulusan yang sesungguhnya" belum sampai kepada kita atau kita yang tak menjemputnya (?)


Mungkin, manusia ini adalah orang yang tak pandai bercerita, bahkan kepada Tuhannya. Ia datang dengan hati penuh harap, tapi tiap kata terasa hambar, setiap permohonan terasa lemah. Ia ingin mengatakan betapa ia membutuhkan kehadiran yang lebih nyata, ingin berbagi kehampaan yang menguasai jiwanya, tapi tak ada kata yang tepat. Seperti ada jarak, dan ia tak tahu bagaimana mendekatkan dirinya. Seolah berusaha membaca peta tanpa tahu di mana ia berada.


Kehampaan itu bukannya tak terlihat. Di malam-malam panjang, ia merasa seperti seorang pejalan yang terjebak di tengah padang luas tanpa penunjuk arah. Ia merasa telah berbuat, berusaha, tapi tak menemukan jejak kepastian yang menenangkan. Dan akhirnya, ia kembali diam, terjebak dalam cerita yang hanya ia sendiri yang mendengar.


Namun, ada sesuatu yang mungkin belum ia sadari. Barangkali, kehampaan itu adalah panggilan. Sebuah ajakan untuk berhenti mencari kebahagiaan di dalam ibadah semata, melainkan menyadari bahwa kebahagiaan sejati hadir ketika ibadah menjadi jalan untuk mencintai-Nya, bukan hanya sekadar mencari ketenangan. Mungkin di situ, di balik keheningan yang hampa, tersimpan petunjuk tersembunyi yang sedang menuntunnya untuk membuka hati dengan lebih tulus dan menghapus keinginan manusiawi yang terlalu mendominasi. 


Sebab, kadang-kadang kehampaan adalah cara Tuhan untuk mengajak kita berbicara lebih dalam, untuk bercerita, untuk membuka diri tanpa syarat. Untuk menyadari bahwa kita beribadah bukan hanya untuk memenuhi kehampaan itu, melainkan untuk melebur di dalam kasih-Nya.


Kisah lain yang mengingatkan saya pada sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Ya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dikenal karena keteguhan imannya dan kedalaman spiritualnya. Setelah Nabi diangkat menjadi rasul, Abu Bakar adalah orang pertama yang menerima dan membenarkan kenabian beliau. Meskipun memiliki banyak kekayaan dan kedudukan yang tinggi, ia selalu merasa ada yang lebih penting dari sekadar harta dan status sosial.


Suatu ketika, Abu Bakar mengalami masa-masa sulit. Dia merasakan kehampaan meskipun di luar tampak sukses. Dalam perjalanan hidupnya, ia sering kali merenungkan kehidupan dan tujuan sebenarnya. Hal ini mendorongnya untuk lebih mendalami agama dan mendekatkan diri kepada zat yang  Agung Allah SWT..


Di satu sisi, ia menikmati kesenangan duniawi yang ada, namun di sisi lain, ia sangat sadar bahwa semua itu tidak akan abadi. Dalam pencarian makna ini, Abu Bakar sering melakukan kebaikan, membantu orang yang membutuhkan, dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Dengan cara itu, ia menemukan kepuasan dan rasa syukur yang mendalam. Ibadah dan kebaikan yang dilakukannya menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan batin.


Abu Bakar juga dikenal karena doanya yang penuh kerendahan hati. Ia sering memohon kepada Allah agar diberi petunjuk dan kekuatan untuk tetap di jalan-Nya. Dalam doanya, ia mengungkapkan rasa takutnya akan kehilangan nikmat iman dan ketidakmampuannya merasakan kedekatan dengan Allah. Ia berkata, "Ya Allah, jangan biarkan hatiku kosong dari cahaya-Mu dan jangan biarkan aku terjebak dalam kesenangan dunia yang membuatku melupakan-Mu."


Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajarkan kita bahwa pencarian makna dalam hidup sering kali melibatkan perjalanan spiritual yang mendalam. Meskipun kita memiliki pencapaian di dunia ini, kita harus tetap sadar akan kehampaan yang mungkin menyelubungi hati kita. Dengan memperdalam iman, melakukan kebaikan, dan selalu bersyukur atas nikmat yang ada, kita dapat mengisi batin kita dengan kehadiran Tuhan.

---

"Syukur kuucapkan dalam hati," bisikku dalam pikiran, "masih ada kesadaran akan kehampaan ini, daripada tidak sama sekali terlintas dalam benak." Kehampaan yang menghampiri bukanlah tanda kelemahan, melainkan panggilan untuk merenung dan mengeksplorasi lebih dalam. Kesadaran ini, meskipun kadang menyakitkan, adalah titik awal yang berharga dalam perjalanan spiritual kita.


Mungkin cerita sahabat lamaku itu juga bisa terjadi bagi diriku dan bagi kalian yang membaca. Kita semua memiliki momen di mana pencapaian di luar tidak sejalan dengan perasaan batin. Ada kalanya hidup terasa hampa, meski secara fisik kita dikelilingi oleh segala sesuatu yang kita inginkan. Dalam setiap detik yang kita luangkan untuk merasakan kehampaan, kita diberi kesempatan untuk lebih peka terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Betapa beruntungnya kita, masih memiliki ruang untuk bertanya, untuk mencari, dan untuk tumbuh. 


Doaku, semoga batin ini selalu terisi dan tidak kosong, karena aku takut akan nikmat yang Engkau berikan tak bisa aku rasakan dengan sepenuh hati. Nauzubillah, jangan biarkan kami terlepas dari kesadaran akan keindahan dan karunia-Mu. Jadikanlah kami hamba yang selalu bersyukur dan mampu merasakan setiap nikmat yang Engkau limpahkan, baik dalam suka maupun duka. Aamiin.


Mungkin ini akan menjadi satu bagian dari sub tulisan dari buku yang akan saya sempurnakan yang sudah lama saya tuliskan 2 tahun lalu dan mangkrak, Semoga.


Penulis: Ihsan Zikri

Menunggu Pesan Indahmu :(