Ketika Cinta dan Ilmu Bertemu dalam Ruang Pemulihan: Pesantren Rehabilitasi - Lens Of SAN

Ketika Cinta dan Ilmu Bertemu dalam Ruang Pemulihan: Pesantren Rehabilitasi

Ketika Cinta dan Ilmu Bertemu dalam Ruang Pemulihan: Pesantren Rehabilitasi

Pendekatan Keluarga: Cinta yang Menyembuhkan

Beberapa waktu lalu, saya melakukan sebuah riset yang membawa saya ke salah satu pondok pesantren di Kota kecil padat di Jawa Timur yang tak seperti pesantren pada umumnya. Pesantren ini memiliki misi yang unik dan mulia: menangani rehabilitasi sosial. Di dalamnya, bukan hanya santri biasa yang ingin mendalami ilmu agama, tetapi mereka yang datang dari latar belakang penuh luka, anak jalanan, pecandu narkoba, pengamen, dan berbagai jiwa-jiwa yang pernah tersesat dalam kegelapan hidup. Di tempat ini, mereka diberikan pendidikan, pembinaan, dan kegiatan positif yang mengubah hidup.


Saat pertama kali memasuki lingkungan pesantren ini, saya disambut suasana penuh kedamaian. Namun, di balik ketenangan itu, ada perjuangan berat yang dihadapi setiap santri. Saya segera tersadar bahwa mereka bukan hanya sedang mempelajari agama, tetapi juga berjuang melepaskan diri dari jerat masa lalu yang kelam. Kegiatan sehari-hari mereka diisi dengan rutinitas pesantren—shalat berjamaah, mengaji, bekerja di kebun pesantren, tetapi semuanya dilakukan dengan satu tujuan besar: pemulihan jiwa dan raga.


Sumber: Pinterest/Hill Firdaus

Dialog dengan Sang Kiai: "Mereka Semua Anak Saya"

Pada satu kesempatan, saya duduk bersama sang kiai, seorang pemimpin yang luar biasa sabar dan penuh kasih. Saya bertanya kepadanya tentang metode unik yang digunakan dalam pesantren ini, terutama bagaimana ia menangani para santri dengan latar belakang yang begitu beragam dan penuh tantangan. Percakapan kami berlangsung tenang, tetapi menyentuh hati.


"Kiai," saya membuka percakapan, "Bagaimana Anda bisa menangani mereka dengan begitu sabar? Saya lihat, di sini mereka bukan sekadar santri, tapi lebih seperti anak-anak yang Anda rawat dengan penuh kasih sayang."


Sang kiai tersenyum lembut. "Karena mereka memang anak-anak saya," jawabnya dengan tenang. "Di sini, kami tidak melihat mereka sebagai masalah atau beban. Mereka datang dengan luka, dengan masa lalu yang mungkin kelam. Tetapi di sini, kami percaya mereka bisa sembuh. Kami adalah keluarganya, dan keluarga harus selalu ada untuk mendukung satu sama lain, bukan?"


Saya merasakan kedalaman filosofi yang ia pegang. "Lalu bagaimana caranya pendekatan keluarga ini membantu mereka? Bukankah sebagian dari mereka sudah pernah menjalani rehabilitasi di tempat lain, tetapi tidak berhasil?" tanya saya penasaran.


"Sistem di sini berbeda," jawab kiai. "Kami tidak hanya mengandalkan aturan atau terapi yang kaku. Kami membangun kedekatan, memberikan kepercayaan, dan membuat mereka merasa diterima. Mereka harus merasa aman dan dicintai dulu sebelum bisa sembuh. Tanpa itu, rehabilitasi hanyalah rutinitas yang tak akan menyentuh hati mereka."


Sebagai seorang yang sedang melakukan riset awalnya saya kurang begitu meyakini akan apa yang disampaikan, sampai dengan pada saat  mendengarkan beliau menceritakan hal-hal tersebut, saya melihat dinding pojok banyak sekali penghargaan, foto dengan tokoh sampai dengan menteri yang membuat saya akhirnya meyakini apa yang telah dilakukan beliau adalah benar adanya. 


Momen Mengejutkan: Santri yang Mengalami Sakau

Salah satu momen yang tak akan pernah terlupakan adalah ketika saya menyaksikan seorang santri mengalami sakau di tengah proses rehabilitasi. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, dan ia tampak sangat kesakitan. Sebagai peneliti, tentu saya sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan, tetapi melihat langsung bagaimana ketergantungan narkoba menghancurkan tubuh dan jiwa seseorang adalah pengalaman yang menghantam hati.


Saya sedikit terkejut saat tahu bahwa santri ini, yang umurnya masih di bawah saya, pernah terjerumus dalam dunia narkoba. Dalam sesi wawancara ini, dia berbagi kisahnya yang begitu menggetarkan hati.


"Kamu mulai menggunakan narkoba pada umur berapa?" tanya saya memulai percakapan dengan hati-hati. "Umur 19 tahun," jawabnya sambil menunduk sejenak. "Saya berasal dari Sumatra, jauh dari sini. Sudah berkali-kali saya masuk pusat rehabilitasi. Setiap kali keluar, saya kambuh lagi. Rasanya nggak pernah benar-benar sembuh."


Saya mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Lalu, bagaimana kamu bisa sampai di pesantren ini?" "Keluarga saya sudah putus asa. Mereka dengar tentang pesantren ini dan pendekatan yang berbeda, jadi saya dikirim ke sini. Jujur saja, awalnya saya tidak terlalu berharap, karena sudah sering gagal di tempat lain."


Rasa penasaran saya semakin besar. "Tapi kamu terlihat baik sekarang. Berapa lama sudah di sini?"


"Baru dua minggu," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Tapi anehnya, di sini saya merasa berbeda. Biasanya kalau di tempat lain, satu atau dua hari sudah kumat, kejang-kejang. Tapi di sini, tidak pernah terjadi lagi."


Saya terkejut mendengarnya. "Hanya dua minggu dan kamu sudah merasa perubahan?" tanya saya tidak percaya.


Dia mengangguk. "Iya. Karena di sini suasananya beda. Saya merasa lebih nyaman. Kiai di sini memperlakukan kami seperti keluarga, bukan seperti pasien. Itu yang bikin saya merasa aman dan bisa mulai sembuh. Nggak ada yang menghakimi atau memperlakukan saya seperti orang yang rusak. Mereka percaya saya bisa berubah, dan itu memberi saya kekuatan."


Dialog ini membuat saya tersadar betapa kuatnya dampak pendekatan berbasis keluarga yang diterapkan di pesantren ini. Sesuatu yang mungkin dianggap sederhana, rasa nyaman, cinta, dan penerimaan, ternyata mampu menciptakan perbedaan yang luar biasa dalam proses rehabilitasi.


Namun, lebih mengejutkan lagi adalah bagaimana pesantren ini menangani situasi tersebut. Seorang kiai, dengan tenang dan penuh kasih sayang, mendekati santri itu. Alih-alih memberikan hukuman atau teguran keras, sang kiai memperlakukannya seperti seorang ayah yang merawat anaknya yang sakit. Dengan sabar, ia menenangkan santri tersebut, memberinya air, dan mengajak berbicara, seolah-olah rasa sakit yang dialami santri itu adalah bagian dari dirinya sendiri. Dalam setiap kata, dalam setiap sentuhan, ada cinta yang tulus. Saya menyaksikan bagaimana kiai ini, yang memimpin pesantren, tidak hanya menjadi guru atau pemimpin, tetapi juga figur ayah yang penuh perhatian bagi setiap santrinya.


Pelajaran Kehidupan: Pesantren sebagai Keluarga

Pengalaman ini membuka mata saya terhadap filosofi yang diterapkan di pesantren ini. Para santri tidak diperlakukan sebagai pasien atau sekadar orang yang harus “disembuhkan,” tetapi sebagai bagian dari keluarga besar pesantren. Di sini, setiap orang—apapun masa lalunya—dipeluk dengan kehangatan dan diterima dengan tangan terbuka. Pesantren ini menanamkan pada para santri bahwa mereka berhak untuk sembuh, berhak untuk memiliki masa depan yang lebih baik, dan berhak untuk dicintai tanpa syarat.


Kebersamaan dan kekeluargaan menjadi kunci utama dalam proses pemulihan. Para santri tidak hanya diajarkan tentang agama, tetapi juga tentang cinta kasih, tanggung jawab, dan solidaritas. Ketika ada seorang santri yang jatuh, yang lain akan mengulurkan tangan untuk membangkitkan. Ketika ada yang berjuang melawan masa lalu, seluruh pesantren akan berjuang bersama.


Dari kiai di pesantren ini, yang mengajarkan bahwa cinta dan perhatian jauh lebih efektif dalam proses rehabilitasi daripada sekadar aturan ketat atau hukuman. Baginya, setiap santri adalah seperti anaknya sendiri yang tersesat dan berusaha untuk pulang. Kiai ini dengan sabar membimbing mereka, bukan hanya untuk sembuh dari kecanduan, tetapi juga untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang hilang.


Refleksi: Ketika Agama dan Pemulihan Bertemu

Kisah pesantren ini mengajarkan saya bahwa agama bukan hanya soal ritual dan hukum, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat sesama. Di tengah krisis yang dihadapi banyak santri, pesantren ini menjadi oasis bagi mereka yang mencari kedamaian setelah badai kehidupan yang mengguncang. Melalui pendidikan, cinta, dan kebersamaan, pesantren ini berhasil membangun lingkungan yang tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga jiwa.


Di tempat ini, saya belajar bahwa pemulihan tidak bisa dilakukan sendirian. Butuh komunitas yang peduli, lingkungan yang mendukung, dan figur pemimpin yang penuh kasih seperti kiai di pesantren ini. Dalam setiap santri yang sembuh, ada kerja keras seluruh pesantren. Setiap langkah kecil menuju pemulihan adalah pencapaian besar bagi semua orang yang terlibat.


Sumber: MiftaArt


Ketika cinta dan ilmu bertemu dalam ruang pemulihan, saya teringat pada sebuah kutipan dari seorang tokoh besar, Imam Al-Ghazali, yang pernah berkata, "Cinta adalah sumber segala pengetahuan; tanpa cinta, tidak ada jalan menuju kebenaran yang sejati." Kata-kata ini begitu relevan dengan apa yang saya saksikan di pesantren rehabilitasi ini, sebuah tempat di mana cinta bukan hanya ungkapan kasih sayang, tetapi juga jembatan menuju pemulihan jiwa dan pencapaian ilmu. Di sini, cinta dan pengetahuan berjalan seiring, menciptakan ruang di mana para santri yang terluka dapat menemukan jalan untuk sembuh, bukan hanya dari ketergantungan fisik, tetapi juga dari kegelapan spiritual.


Pondok pesantren ini bukan hanya tempat rehabilitasi dalam arti klinis, tetapi juga menjadi wadah di mana cinta dan ilmu bekerja sama dalam proses penyembuhan. Ketika para santri datang dengan berbagai luka batin dan masa lalu yang penuh kesakitan, mereka tidak hanya dihadapkan pada serangkaian aturan dan terapi formal. Sebaliknya, mereka dirangkul dengan penuh kasih oleh para pengajar, diperlakukan sebagai bagian dari keluarga yang menginginkan kebaikan untuk mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa cinta dan ilmu memiliki kekuatan untuk memulihkan dan membangun kembali kehidupan yang telah hancur.


----

Akhirnya, pesantren rehabilitasi ini telah memberikan saya banyak pelajaran berharga, baik sebagai peneliti maupun sebagai manusia. Pendekatan berbasis keluarga yang diterapkan oleh sang kiai dan staf pesantren berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung proses penyembuhan yang mendalam dan penuh kasih. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa cinta, perhatian, dan penerimaan tanpa syarat bisa menjadi kunci utama dalam menyembuhkan luka-luka terdalam dari mereka yang pernah tersesat.


Kisah santri yang baru dua minggu berada di pesantren ini, tetapi sudah merasakan perubahan yang besar, adalah salah satu contoh dari banyak keajaiban yang terjadi di sini. Di balik dinding-dinding pesantren ini, ada harapan yang tumbuh, ada kehidupan yang dibangun kembali, dan ada cinta yang terus menyembuhkan.


Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi

Tesis Hasil Riset 




Menunggu Pesan Indahmu :(