Mendidik Hati dan Otak: Inspired by "The Whole Brain Child" - Lens Of SAN

Mendidik Hati dan Otak: Inspired by "The Whole Brain Child"

Mendidik Hati dan Otak: Inspired by "The Whole Brain Child"

Tanpa sengaja, saya berjumpa dengan sekelompok anak kecil berusia sekitar 7–10 tahun, usia yang mestinya dipenuhi keceriaan khas sekolah dasar. Namun, pemandangan yang saya saksikan sangat jauh dari bayangan masa kecil saya sendiri. Anak-anak itu bukannya bermain petak umpet atau kejar-kejaran, tetapi justru berkumpul dengan lintingan rokok di tangan, asyik menyalakan korek api dan mengepulkan asap tanpa beban. Dalam hati, saya tertegun. Ini bukan kali pertama saya melihat fenomena seperti ini, tetapi tetap saja setiap kali bertemu hati ini selalu tercengang.


Rokok dan api bukanlah satu-satunya hal yang mengisi keseharian mereka. Anak-anak yang seusia itu kini kerap kali terlibat dalam perilaku kasar, bullying, bahkan tak segan berbicara dengan kata-kata yang penuh umpatan. Lebih miris lagi, banyak di antara mereka yang tampak terlalu akrab dengan lawan jenis, melakukan hal-hal yang jauh dari imajinasi kita tentang keluguan masa kanak-kanak.


Melihat realitas yang ada, hati kecil saya terusik. Bagaimana bisa mereka, yang mestinya masih asyik bermain, begitu akrab dengan hal-hal yang tampaknya terlalu cepat mereka temui? Pertanyaan-pertanyaan mulai bergelayut: apakah semua ini berawal dari rumah? Ataukah lingkungan sosial yang memberikan pengaruh besar? Atau mungkin pengaruh teknologi yang tanpa batas di era ini turut menjadi salah satu penyebab?


Belum lagi soal persoalan kasus kekerasan terhadap anak dan rendahnya kesiapan mental orang tua saat ini. Di Indonesia dan negara-negara lain, laporan mengenai kekerasan anak dan pengabaian tumbuh pesat, bahkan melibatkan kasus mengkhawatirkan seperti penelantaran fisik dan emosional yang dialami anak-anak balita hingga usia dini​ dilansir berita channelnewsasia. kemudian, seperti yang dilaporakan  dalam Child Maltreatment 2022 Report, sekitar 74,3% anak korban mengalami pengabaian, dengan sebagian besar korban berusia di bawah dua tahun​. Kondisi ini sangat kontras dengan kebutuhan akan pengasuhan yang responsif yang diusulkan dalam buku The Whole-Brain Child Siegel & Bryson yang pernah saya baca namun belum sepenuhnya tuntas.

Buku Siegel dan Bryson Versi Indonesia

Jadi, didalam bukunya Siegel dan Bryson menawarkan panduan sederhana namun mendalam bagi orang tua untuk mendukung kesehatan emosional dan perkembangan kognitif anak-anak mereka. Salah satu konsep utama dari buku ini adalah membangun otak anak secara “menyeluruh” (whole-brain), yang melibatkan kombinasi pengasuhan yang empatik dan responsif untuk mengembangkan kemampuan sosial, emosional, dan intelektual anak.


Pada praktiknya, pendekatan ini bisa menjadi solusi untuk mencegah pola asuh kasar yang masih sering terjadi. Sering kali, kasus kekerasan pada anak muncul karena ketidakmampuan orang tua dalam mengendalikan emosi atau kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan emosional anak. Dengan pendekatan dari The Whole-Brain Child, orang tua diajak untuk memahami bahwa emosi anak perlu dikendalikan dengan cara mengintegrasikan otak kiri dan kanan mereka, menggabungkan logika dan emosi secara seimbang. Ini bisa diterapkan dalam situasi sehari-hari seperti menenangkan anak yang sedang tantrum atau membantu mereka memahami akibat dari tindakan mereka dengan empati, bukan kemarahan.


Mengingat konteks saat ini, dimana akar dari tumbuh kembang anak yang tidak terbangun dengan baik sebab dari masih banyaknya orang tua belum sepenuhnya siap atau memiliki pemahaman yang memadai tentang pola asuh positif, ini menjadi problem yang perlu menjadi perhatian tersendiri bahwa tanggungjawab pendidikan harus disadari oleh orangtuanya juga sebelum siap mendidik anaknya nanti.

 

Di tengah keresahan ini, pikiran saya melayang pada konsep lama, tetapi tak lekang waktu: trilogi pendidikan, yang terdiri dari pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ini bukan sekadar teori, melainkan fondasi yang bisa kita jadikan cermin bersama. Bagaimana keluarga, sekolah, dan lingkungan bisa saling mendukung untuk membangun karakter anak-anak yang sehat, bijaksana, dan terarah dalam menjalani hidupnya. Coba kita kupas sedikit tentang peran penting masing-masing elemen ini dan bagaimana ketiganya dapat saling mendukung dalam membentuk generasi yang tangguh, menurut prespektif penulis dengan melihat realitas dan literatur yang telah dibaca.


Pendidikan Keluarga

Pendidikan keluarga menjadi fondasi pertama yang paling esensial. Orang tua memiliki peran untuk mengenalkan nilai-nilai dan menjadi panutan utama bagi anak-anak. Di sini, konsep "whole-brain" atau “pengasuhan menyeluruh” sangat relevan. Jika kita hitung dalam 24 jam anak memiliki rerata berada di rumah hampir 10-12 jam, sisanya digunakan untuk beraktivitas seperti sekolah dan bermain. itu artinya bertemunya anak dengan keluarga bisa lebih lama, dan interaksi kedekatan emosional juga lebih terasa. jika ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh orang tua untuk memberikan pelajaran dan contoh yang baik maka kesempatan itu akan dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. 


Olehnya Siegel dan Bryson dalam bukunya menyarankan agar orang tua memanfaatkan waktu bersama tidak hanya menggunakan pendekatan disiplin keras atau sekadar memberi instruksi, tetapi juga membangun empati dan koneksi emosional. Keseimbangan antara logika (otak kiri) dan emosi (otak kanan) anak terbangun dalam interaksi sehari-hari yang suportif dan hangat di rumah.


Dalam praktiknya, pendidikan keluarga yang efektif dapat mengurangi risiko anak-anak terjebak dalam perilaku negatif. Ketika orang tua mempraktikkan pendekatan mindful, memperhatikan setiap kebutuhan emosional dan psikologis anak dengan penuh kasih, anak akan merasa diterima dan cenderung mencari dukungan keluarga dalam menghadapi kesulitan di luar. Ini menjadikan mereka lebih tahan terhadap pengaruh buruk dari lingkungan, termasuk tren negatif yang sering ditemui di usia muda.


Pendidikan Sekolah

Sekolah menjadi tempat ilmu, transfer of knowledge yang diberikan oleh guru dan teman sekitar menjadi unsur penting dimana lingkungan yang mempertemukan anak dengan berbagai kepribadian dan nilai. ini menjadi konsep Siegel dan Bryson menekankan pentingnya pendekatan yang mendukung perkembangan emosional anak di sekolah. Guru-guru yang memiliki kesadaran emosional dapat membantu anak-anak memahami dan mengendalikan perasaan mereka. Sebagai contoh, ketika anak-anak dihadapkan pada konflik dengan teman, guru bisa mengajarkan cara-cara sehat untuk menyelesaikannya, bukan melalui kekerasan atau perundungan, tetapi dengan pemahaman dan komunikasi.


Pendekatan whole-brain dapat diterapkan dalam pembelajaran sosial emosional di sekolah, di mana anak-anak diajak untuk memahami dan mengelola emosi mereka sendiri serta berempati terhadap orang lain. Hal ini sangat penting mengingat fenomena seperti bullying yang semakin umum di lingkungan sekolah. Dengan penguatan nilai-nilai ini, sekolah tidak hanya mencetak siswa yang cerdas, tetapi juga membentuk individu yang berkarakter baik dan mampu menghadapi berbagai tantangan sosial.


Pendidikan Masyarakat

Selanjutnya, lingkungan sekitar atau masyarakat adalah faktor eksternal yang sulit dikendalikan, tetapi memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Dalam bukunya, Siegel dan Bryson tidak hanya menekankan peran orang tua atau guru, tetapi juga bagaimana komunitas atau lingkungan masyarakat dapat mendukung perkembangan positif. Masyarakat yang peduli terhadap tumbuh kembang anak akan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, di mana anak-anak merasa nyaman dan terlindungi.


Di tengah kemajuan teknologi dan pengaruh media sosial, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengedukasi dan memberikan contoh baik. Ketika orang dewasa di lingkungan sekitar menunjukkan perilaku yang positif dan mendidik, anak-anak akan lebih cenderung meniru dan mengadopsi perilaku tersebut. Misalnya, komunitas yang aktif dalam kegiatan keagamaan atau sosial dapat memberikan pengalaman berharga bagi anak-anak tentang nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian.

Trilogi Pendidikan dalam Konsep Whole-Brain Child

Bagan ini menggambarkan bagaimana tiga elemen utama Keluarga (Family)Sekolah (School), dan Masyarakat (Society) berkontribusi dalam mendukung perkembangan anak secara menyeluruh (Whole-Brain Child Development). Ketiganya saling terhubung dan berkontribusi pada integrasi pendidikan yang optimal untuk perkembangan emosional dan kognitif anak.

---
Menggabungkan pendekatan “whole-brain” dengan trilogi pendidikan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang kuat, empatik, dan tangguh. Dengan pendidikan keluarga yang suportif, pendidikan sekolah yang memadai, dan masyarakat yang peduli, anak-anak akan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks.

Itu bukan berarti menjadi salah satu rujukan utama, namun menjadi alternatif bagaimana tumbuh kembang anak yang rentan terjadi diusia dasar dipengaruhi banyak faktor dan 3 faktor tersebut menurut penulis perlu diperhatikan, agar pondasi anak bisa terbentuk sebelum menginjak usia remaja dan dewasa.


Di tengah segala kompleksitas peran orang tua dan tantangan yang dihadapi anak-anak, satu hal yang harus selalu kita jaga adalah harapan. Dan di atas semua itu, kesiapan menjadi hal yang wajib diperhatikan oleh orang tua sebelum melangkah, bukan berarti menunggu sampai siap tetapi ada kesadaran yang timbul akan belajar dan memahami dalam menuju proses kesiapan tersebut. Kesiapan ini juga berarti memiliki ketulusan untuk mencintai tanpa syarat dan merelakan waktu, energi, bahkan diri kita sendiri untuk memastikan bahwa anak-anak kita memiliki pondasi yang kuat baik secara emosional, spiritual, maupun moral. Karena pada akhirnya, "kesiapan sebagai orang tua adalah tentang kesiapan untuk menyerahkan cinta yang tak terhingga, yang akan menjadi bekal mereka menghadapi dunia". 


Dengan penuh harap, semoga... :) 


Penulis: Ihsan Zikri

Menunggu Pesan Indahmu :(