Ternyata Kita Tidak Benar-Benar Memiliki: Refleksi Carnegie dalam bukunya "How to Stop Worrying and Start Living" - Lens Of SAN

Ternyata Kita Tidak Benar-Benar Memiliki: Refleksi Carnegie dalam bukunya "How to Stop Worrying and Start Living"

Ternyata Kita Tidak Benar-Benar Memiliki: Refleksi Carnegie dalam bukunya "How to Stop Worrying and Start Living"

Refleksi Carnegie dalam bukunya "How to Stop Worrying and Start Living"


Malam itu, di depan sebuah ruko Indomaret saya duduk sejenak melepas lelah. Duduk dengan tenang, menikmati kemasan Golda Coffee. Tak ada kesan gaya hidup seperti tren kopi pada pria dewasa masa kini. Tampaknya, kopi ini bukan pelengkap gaya hidup, tapi pelepas lelah setelah seharian beraktifitas. Sejenak duduk melihat ibu mengayuh sepeda tua dengan krupuknya dan berhenti tepat didepan saya.


"Mas, beli kerupuk, ya?" Ia tersenyum, menawarkan dagangannya dengan nada ramah. Ada kebersahajaan dalam senyumnya, yang seakan mengingatkan saya pada banyak hal sederhana yang sering terabaikan. Sebagian dari harta yang kita miliki, sesungguhnya adalah titipan untuk orang lain. Barangkali, malam itu adalah bagiannya.


Refleksi ini membuat saya teringat pada buku "The Art of Giving" karya Charles Bronfman dan Jeffrey Solomon. Mereka menulis bahwa pemberian tak selalu soal jumlah, melainkan soal hati. Sebagaimana kita berusaha membagikan waktu atau kebijaksanaan, berbagi harta adalah menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. Pemberian tidak hanya menguntungkan penerima, tetapi juga mengingatkan kita untuk lebih bersyukur dan rendah hati. Dalam Islam, hal ini pun ditegaskan dengan ajaran bahwa sebagian dari rezeki kita adalah hak orang lain, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an, "Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk yang miskin yang meminta dan yang tidak meminta" (QS. Az-Zariyat: 19).


Ibu itu mungkin tidak mengenal istilah filantropi atau teori sosial. Tapi dalam senyum lelahnya, ada pelajaran bahwa hidup sederhana dan penuh perjuangan memiliki makna tersendiri. Banyak dari kita yang mungkin menganggap memberi adalah sekadar transfer uang atau sedekah di bulan tertentu. Tapi, ibu itu menunjukkan bahwa hidupnya adalah tentang memberi – setiap langkah, kayuhan, dan senyum ramah kepada siapapun yang ia jumpai di sepanjang jalan.

by chekivascorner 

Saya teringat juga pada pesan Dale Carnegie dalam "How to Stop Worrying and Start Living". Carnegie mengingatkan bahwa saat kita merasa hidup ini tidak adil atau merasa kekurangan, mulailah berbuat sesuatu untuk orang lain. Memberi sering kali meringankan hati, menambah arti dalam hidup kita dan menghadirkan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tentu, ibu penjual kerupuk itu tidak mungkin tahu buku ini, tapi saya yakin bahwa dalam perjalanannya yang panjang, ia menemukan kedamaian serupa yang dihadirkan melalui ketulusan.


Bayangkan Anda membawa beban di punggung dan setiap kekhawatiran adalah batu yang menambah beratnya. Ketika beban semakin besar, langkah Anda pun melambat dan tujuan yang semula tampak dekat kini terasa jauh. Dale Carnegie menyarankan untuk berhenti sejenak melihat satu persatu “batu” kekhawatiran itu dan bertanya pada diri sendiri: "Apakah ini benar-benar perlu dibawa?"


Carnegie mengajarkan konsep “hidup dalam satu hari.” Artinya, seperti petani yang hanya memanen ladang yang di depannya, kita diajak untuk fokus pada apa yang ada hari ini, bukan pada kenangan pahit atau ketakutan tentang hari esok yang belum tentu datang. Misalnya, saat kita merasa khawatir akan masa depan pekerjaan atau kesehatan kita, Carnegie menganjurkan kita untuk tetap produktif dan memberi perhatian penuh pada hal-hal yang berada dalam kendali kita.


Teknik lain yang Carnegie perkenalkan adalah “menerima yang terburuk.” Kita seringkali ketakutan akan skenario terburuk, namun jarang benar-benar memikirkan apa yang akan kita lakukan jika itu terjadi. Dengan membayangkan, menerima dan menyiapkan solusi untuk skenario terburuk, kita justru memberi ruang pada diri untuk bernapas lebih lega dan berani menghadapi tantangan hidup.


Carnegie juga mengingatkan kita bahwa hidup bukanlah tentang menghindari masalah atau mencari kesempurnaan. Kehidupan yang damai tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki atau raih, tetapi dari seberapa jauh kita mampu melepaskan diri dari jerat kecemasan dan menemukan ketenangan dalam langkah kecil sehari-hari.


Dengan kata lain, berhenti khawatir bukan berarti kita berhenti peduli. Ini berarti belajar untuk berfokus pada apa yang kita kontrol, menghargai momen ini, dan menyadari bahwa masa depan terbaik yang bisa kita bangun, dimulai dari langkah yang tenang dan penuh makna hari ini.

---

Terkadang, dalam keseharian kita yang sibuk, kita lupa pada orang-orang seperti ibu ini, yang memberikan pelajaran tanpa kata, lewat tindakan sederhana yang penuh arti. Malam itu, saya membeli kerupuknya. Mungkin tak banyak, tapi ada senyum tulus yang mengiringi setiap genggamannya. Mungkin, itu adalah sebagian dari rezeki saya yang memang sudah menjadi haknya.


Mari sejenak merenung, bahwa sebagian dari harta kita memang dititipkan untuk mereka yang membutuhkan. Kita bukan hanya menjadi pemberi, tetapi penerima pelajaran tentang makna hidup, tentang bagaimana menemukan bahagia di balik kesederhanaan dan tentang bagaimana memberi dengan sepenuh hati, tanpa berharap kembali.


Sebuah pesan sederhana untuk kita semua: saat kita memberi, kita bukan sekadar berbagi, tapi juga merajut ikatan kemanusiaan yang lebih dalam.

Menunggu Pesan Indahmu :(