"Menemukan Makna Pendidikan dari Seorang Traveler Prancis di Pelosok Indonesia" - Lens Of SAN

"Menemukan Makna Pendidikan dari Seorang Traveler Prancis di Pelosok Indonesia"

"Menemukan Makna Pendidikan dari Seorang Traveler Prancis di Pelosok Indonesia"

Bertemu Sang Pengelana: Sebuah Kisah Tentang Perjalanan, Pendidikan, Kehidupan, dan Kebahagiaan di Sudut-Sudut Nusantara


Suatu sore di hari Ahad sedang bekerja di depan laptop yang tenang di pojokan sebuah kafe, saya melihat seseorang yang tampak berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Kulitnya putih, rambutnya pirang, dan posturnya tinggi semampai. Dia duduk sendiri, terlihat menikmati kesendiriannya. Rasa penasaran saya memuncak, dan dengan spontan saya mendatanginya. “Hey, Mr. Nice to meet you.,” saya menyapa dengan bahasa Inggris, lalu menanyakan apakah saya bisa duduk dan mengobrol dengannya. Dengan senyuman hangat, dia mempersilakan.


Mr. William sebut saja, kami mulai berbincang, dan dalam waktu singkat, percakapan menjadi begitu hangat. Ternyata, dia adalah seorang traveler asal Prancis yang sedang mengelilingi pelosok Indonesia dengan motor roda tiga, varian unik yang ia sebut “VAR Indonesia” Dia sudah menjelajahi banyak tempat selama beberapa tahun belakangan ini, dari NTT di Kupang, NTB, hingga ke Borneo, dan saat ini dia sedang berada di Malang, Jawa Timur.


Sumber: IG.mytripmyviar

Mendengar bahwa dia telah mengunjungi beberapa tempat termasuk tempat kelahiran saya yakni tana Borneo, tepatnya di Balikpapan dan Samarinda, saya langsung menanggapi dengan antusias, “Oh, saya asli dari sana!” ucap saya dengan nada bangga. Ia menyebutkan bahawa perjalanan di Borneo diarasa kurang menyenangkan karna faktor cuaca yang pada saat itu sedang memasuki musim hujan. Kami pun bercanda sejenak, "Apakah Anda, Mr., tidak ingin kembali dan berencana mengunjungi IKN kami?" saya bertanya sambil tertawa kecil, merujuk pada proyek Ibu Kota Nusantara yang sedang digarap di Kalimantan Timur. Dia pun tertawa lepas sambil menjawab, “Tidak, saya tidak yakin dengan proyek ambisi itu,” katanya santai, dan kami berdua tertawa bersama dan tidak melanjutkan percakapan IKN tersebut.

Uniknya, percakapan kami berlangsung dalam bahasa Indonesia dengan sesekali campuran bahasa Inggris, karena ternyata dia sudah cukup lama berada di Indonesia. Bahasa Indonesianya cukup fasih, yang membuat obrolan kami semakin lancar dan hangat, seperti teman lama yang saling berbagi cerita.


Dia bercerita tentang pengalamannya berkeliling negeri ini, menemui orang-orang di tempat-tempat yang jauh dari hingar-bingar perkotaan. “Indonesia itu luar biasa,” katanya, “kehidupan di pedalaman begitu berbeda, tapi juga begitu indah.” Saat dia menceritakan kehidupan masyarakat di pelosok, saya terenyuh. Di tempat-tempat yang dia kunjungi, meski jauh dari kemewahan kota, ia menemukan kebahagiaan sederhana. “Orang-orang di sana mungkin tidak punya banyak uang, tapi senyum mereka adalah kebahagiaan yang sesungguhnya,” Ia memaknai bahwa kebahagiaan bukan hanya soal uang saja tapi bagaimana kebahagiaan bisa didapat dari apa yang ada disekitar kita, tambahnya. 


Saya tersenyum mendengar cerita itu, namun yang paling mengejutkan adalah ketika dia mengungkapkan bahwa masih ada daerah-daerah di Indonesia yang menggunakan sistem barter untuk bertransaksi. “Bayangkan, mereka masih saling menukar barang tanpa uang. Sesuatu yang mungkin sulit kita pahami di dunia modern ini,” katanya. lantas apakah ini terdengar oleh orang elitis diatas? entahlah..


Tapi aksi perjalanan dia bukan sekadar penjelajahan. Ternyata, dalam setiap perjalanan yang dia tempuh, dia juga membawa buku-buku untuk dibagikan kepada anak-anak di desa-desa terpencil. “Saya ingin mereka punya kesempatan untuk mengenal dunia lain melalui buku, walaupun mereka tinggal jauh di pelosok,” ucapnya penuh semangat.


Sumber: IG.mytripmyviar

Seiring obrolan, kami membahas tentang sistem pendidikan di negaranya, Prancis. Saya penasaran, mengingat pendidikan di Eropa selalu dianggap maju. Namun jawabannya sungguh mengejutkan. Dia berkata, "Pendidikan formal itu sering kali membuang waktu. Pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana kita belajar dari kehidupan, bukan dari buku teks.” Baginya, hidup di lapangan, berinteraksi dengan orang-orang, dan mengalami kehidupan secara langsung adalah bentuk pendidikan paling berharga. Dia percaya bahwa pendidikan tidak hanya soal duduk di kelas atau menghafal materi, tetapi lebih tentang memaknai dan menikmati kehidupan di dunia nyata.


Pernyataan itu benar-benar membuka pikiran saya. Bagaimana mungkin seseorang yang datang dari negara dengan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, Prancis, bisa memiliki pandangan yang begitu berbeda? Prancis dikenal dengan sekolah-sekolahnya yang terstruktur, dengan program pendidikan yang komprehensif sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sistem pendidikan Prancis memberikan kebebasan akademik, dan fokus pada pengembangan keterampilan analitis serta logika. Pendidikan di sana hampir seluruhnya gratis, dan pemerintah sangat mendukung akses yang setara untuk semua kalangan. Namun bagi dia, semua itu tak lebih dari formalitas. “Yang penting adalah apa yang kita lakukan, bagaimana kita hidup,” katanya, seolah pendidikan formal hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk belajar. Kemudian, terlintas pertanyaan difikiran saya, "Bagaimana dengan sistem Pendidikan di  Indonesia saat ini?"


Perbincangan dengan traveler Prancis itu meninggalkan kesan yang mendalam. Pengalaman yang dia ceritakan—tentang perjalanan melintasi Indonesia, sistem barter, hingga aksinya membagikan buku kepada anak-anak pelosok—mengingatkan saya akan pentingnya melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Di sisi lain, pandangannya tentang pendidikan mengajak saya untuk merenungkan kembali apa arti belajar sesungguhnya, dari pribadi ini yang berkecimpung di dunia pendidikan.


Ini mengingatkan saya pada salah satu filsuf pendidikan John Dewey, pernah berujar bahwa, "Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri." Apa yang disampaikan Mr. William tentang belajar dari kehidupan dan lapangan sungguh mencerminkan pandangan Dewey ini. Dia percaya bahwa pengalaman hidup sehari-hari memberikan pelajaran yang jauh lebih bermakna daripada sekadar teori di buku.


Pendidikan tidak harus selalu datang dari ruang kelas. Mungkin, belajar dari kehidupan dan pengalaman nyata, dari interaksi dengan orang lain, dari petualangan yang membuka mata, adalah cara terbaik untuk benar-benar memahami dunia ini. Di tengah kompleksitas pendidikan formal, terkadang kita lupa bahwa esensi belajar adalah bagaimana kita memaknai kehidupan. Dan itulah yang saya pelajari sore itu, dari seorang traveler asing yang penuh semangat, di pojokan sebuah kafe di Kota Malang.


Support: mytripmyviar (IG,Yt, Tiktok)


Penulis : Ihsan Zikri Ulfiandi

Menunggu Pesan Indahmu :(