![]() |
| Picture by democrazy.id |
Pada Rabu, 16 Oktober 2024, Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM saat itu, dinyatakan lulus ujian terbuka doktor dari pascasarjana Kajian Strategik dan Global di Universitas Indonesia, Depok. Disertasi Bahlil berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.” Bahlil bukan satu-satunya tokoh atau politisi yang berhasil meraih gelar doktor akhir-akhir ini. Setidaknya ada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, juga meraih gelar doktor dari pascasarjana Kajian Strategik dan Global UI dan Ketua Umum Partai Demokrat, AHY, dari Pascasarjana Universitas Airlangga. Kita berpikir positif saja bahwa di tengah-tengah kesibukannya mereka masih sempat kuliah, walau sebenarnya sudah tidak perlu.
Menjadi doktor sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa dan bisa dilakukan oleh siapa pun asal mau melanjutkan kuliah ke jenjang S3, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, dan mengikuti semua prosedur yang ditentukan. Yang menjadi persoalan ialah usai kelulusan, disertasi Bahli menjadi polemik di kalangan masyarakat. Pasalnya, Bahlil menyelesaikan studi doktor hanya dua tahun atau empat semester, yang tergolong sangat singkat. Malah Ariel Heriyanto (Kompas, 9/11/2024) menyebutnya “super-singkat.” Selain itu, Bahlil lulus dengan predikat cumlaude, sebuah prestasi puncak yang biasanya tidak mudah diraih. Banyak yang mempertanyakan proses pendidikan Bahlil, kapan kuliahnya, kapan penelitiannya, kapan nulis di jurnal sebagai persyaratan ujian, bagaimana proses pembimbingannya, dan sebagainya. Ada yang yang menuduh sebagian disertasi Bahlil adalah plagiasi. Bahkan 34 orang alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI mengajukan petisi kepada UI untuk mengkaji ulang pemberian gelar doktor kepada Bahlil.
Biasanya studi doktor menempuh waktu lebih dari dua tahun, atau paling tidak tiga tahun, atau enam semester. Sebab, di program S3 mahasiswa harus menempuh beberapa tahapan studi, mulai kuliah teori, ujian kualifikasi, menyusun proposal, ujian proposal, melakukan penelitian, seminar hasil, ujian tertutup, hingga akhirnya ujian terbuka. Studi Bahlil tergolong sangat kilat sehingga menimbulkan banyak tanda tanya. Saya sendiri menyelesaikan studi doktor selama lima setengah tahun. Malah jika dihitung sampai ujian terbuka, saya memerlukan waktu studi hampir enam tahun. Terhitung sangat lama, maklum sambil tetap bekerja di kampus.
Polemik kelulusan doktor Bahlil masih belum usai. Kompas (9/11/2024) memuat tulisan Ariel Heryanto yang berjudul “Mendadak Doktor” yang berisi cibiran bagaimana seorang politisi, bukan dosen, berambisi meraih gelar doktor sekilat itu sehingga martabat universitas digugat. Universitas Indonesia temapt studi Bahlil kena geathnya, karena dituduh telah mengkomersialkan pendidikan doktor. Jika tuduhan itu benar, sangat disayangkan karena UI merupakan barometer perguruan tinggi di Indonesia yang mesti menjaga marwah akademik. Para petinggi UI, mulai Rektor, Ketua senat, Ketua dewan guru besar, Ketua wali amanat hingga promotor harus turun tangan untuk menangani masalah tersebut hingga akhirnya keluar pernyataan resmi dari pihak UI bahwa proses pendidikan dan penulisan disertasi Bahlil sudah sesuai aturan. Diinformasikan bahwa Bahlil mengikuti program doktor UI by research, jadi tidak perlu kuliah. Di beberapa perguruan tinggi memang ada program doktor by research, dan itu tidak menyalahi aturan.
Kendati pihak UI telah mengeluarkan pernyataan resmi, polemik masih berlanjut. Pada 6 November 2024 ada surat keberatan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang ditujukan ke pihak UI yang isinya menolak pencatuman nama JATAM dalam disertasi tersebut yang disebut sebagai sumber data. Terkait surat keberatan JATAM, ada pertanyaan. Yang dipersoalan JATAM itu prosedur wawancara oleh dua orang yang mengaku sebagai peneliti atau substansi wawancaranya. Jika substansi, berarti data. Secara metodologis jika data bermasalah, temuan disertasi juga bermasalah. Sebab, data merupakan bagian inti dalam penelitian di mana peneliti menarik kesimpulan. Sindiran terhadap disertasi Bahlil datang dari BEM UI yang membuat pamlet dengan tulisan “Jasa Membuat Disertasi Kilat” dengan mencantumkan no HP yang bisa dihubungi.
![]() |
| Picture by wartakota.tribunnews.com |
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud memperpanjang polemik dan sama sekali tidak bertujuan mengintervensi proses penelitian, pembimbingan, dan ujian Bahlil. Saya tidak mengenal Bahlil secara pribadi. Saya mengetahui Bahlil sebagai seorang menteri. Saya tidak membaca disertasi Bahlil secara utuh, kecuali secara sekilas membaca soft file naskah lewat media sosial. Jadi, saya tidak punya kepentingan apa pun dengan disertasi Bahlil. Saya juga tidak bermaksud membela atau mendeskreditkan Bahlil atau para pihak yang mempersoalkan disertasinya. Sebagai dosen matakuliah Metodologi Penelitian, khususnya metode kualitatif, hanya saya ingin memberi catatan disertasi tersebut dari sisi teori-teori metodologi penelitian sesuai yang saya pahami dan ajarkan selama ini. Jadi murni akademik.
Membaca sekilas judul dan rumusan masalah disertasi Bahlil, siapa saja yang pernah belajar metodologi penelitian dengan sangat mudah memahami bahwa dalam penelitiannya Bahlil menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki syarat-syarat tertentu yang berbeda dengan pendekatan kuantitatif. Salah satunya ialah ia memerlukan waktu lebih lama daripada kuantitatif. Untuk mengumpulkan data kualitatif agar mendapatkan data melimpah dan peneliti bisa memahami subjek penelitian secara komprehensif, menurut Paton (1990), diperlukan waktu antara enam bulan hingga dua tahun. Atas polemik tersebut, dari pengamatan sekilas terhadap disertasi, saya mengajukan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
1. Teknik utama pengumpulan data kualitatif adalah wawancara, observasi, dokumentasi, dan kadang-kadang FGD (Focus Group Discussion) yang semuanya memerlukan waktu cukup panjang. Siapa yang diwawancarai, bagaimana cara memilih orang yang diwawancarai (informan), berapa jumlahnya, bagaimana wawancara dilakukan, apa saja yang ditanyakan, di mana wawancara dilakukan. Itu baru dengan satu orang informan. Bagaimana jika informannya banyak? Begitu juga observasi, perlu menjadi pertimbangan apa yang diobservasi, untuk memperoleh informasi apa, berapa lama observasi dilakukan, dan sebagainya. Apa semua telah dipertimbangkan dan diuraikan sangat rinci oleh Bahlil di bagian metode penelitian? Kita tidak tahu karena tidak membaca naskahnya.
2. Teknik pengumpulan data kualitatif tidak dilakukan sekali jadi, sebagaimana dalam penelitian kuantitatif melalui kuesioner. Sekali kuesioner disebar dan kembali dengan jawabannya tidak perlu ada kuesioner lagi. Data dari kuesioner juga tidak perlu ditriangulasi, sebab apa pun yang telah terekam atau terjawab dipercaya sebagai data sah. Pengumpulan data kualitatif dilakukan secara siklus, artinya bisa berkali-kali seorang peneliti mewawancarai informan jika hasil wawancara dirasa kurang meyakinkan atau meragukan. Wawancara baru dihentikan jika peneliti sudah yakin bahwa hasilnya dapat dipercaya atau kredibel.
3. Jika data telah terkumpul lewat teknik-teknik tersebut, kapan menulis hasilnya untuk menjadi transkrip yang kemudian diolah atau dianalisis?. Jika telah ditranskrip, kapan dan bagaimana derajat keabsahan data dilakukan? Apa metode validasi keabsahan data yang digunakan? Apa melakukan triangulasi atau memperpanjang waktu bersama subjek penelitian?
4. Tujuan utama penelitian kualitatif ialah untuk memahami perilaku orang atau subjek penelitian. Untuk bisa memahami perilaku subjek, seorang peneliti kualitatif wajib berinteraksi secara intensif dengan subjek atau partisipan penelitian. Bahkan dalam penelitian kualitatif jenis Grounded Research, peneliti mesti ‘hidup’ bersama subjek dalam waktu cukup lama. Ingat peristiwa seorang antropolog dan jurnalis Amerika bernama Wyn Sarget pada 1973 menikahi Ketua Suku Dani, Papua, karena ingin mengetahui lebih jauh tentang budaya masyarakat Papua. Peneliti kualitatif mesti memiliki jiwa vitalis sebagaimana ditunjukkan Wyn Sarget tersebut, yakni kemauan untuk berkorban dalam segala hal, demi ilmu pengetahuan yang ditekuni. Apa Bahlil berjiwa vitalis? Kita tidak tahu.
5. Salah satu syarat penelitian kualitatif ialah peneliti harus memiliki data melimpah (rich data). Menganalisis data yang melimpah tentu tidak mudah, memerlukan waktu lama, dan sangat menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Apa Bahlil memiliki data yang melimpah? Kita tidak tahu.
6. Jika tidak salah Bahlil mengajukan empat pertanyaan penelitian dalam disertasinya. Karena menggunakan pendekatan kualitatif, dari empat pertanyaan tersebut masing- masing mesti dijawab secara elaboratif berdasarkan data. Apa masing-masing pertanyaan telah melahirkan proposisi minor? Karena ada empat pertanyaan, maka mestinya ada empat proposisi minor sebelum akhirnya semua diringkas menjadi proposisi mayor? Ini disebut tahap teoretisasi dalam penelitian yang memerlukan waktu lama karena untuk bisa melahirkan proposisi seorang peneliti mesti melakukan kontemplasi. Apakah Bahlil melakukannya?
7. Pada Bab II, jika tidak salah, Bahlil memulai uraiannya dengan menulis “Landasan Teori.” Dengan menyebut teori sebagai landasan, berarti penelitian Bahlil menggunakan paradigma Postpositivistik. Dengan demikian, disertasi diakhiri dengan sebuah temuan teoretik yang disebut konstruksi teori. Apa disertasi Bahlil berakhir dengan konstruksi teori berdasarkan teori yang digunakan sebagai landasan? Jika iya, apa bentuknya? Kita tidak tahu.
8. Implikasi dari penelitian berparadigma postpositivistik ialah untuk validasi temuan atau simpulan peneliti wajib melakukan negosiasi temuan dengan para ahli sesuai topik yang diteliti. Apa Bahlil melakukannya? Jika iya, dengan siapa, kapan, di mana, dan apa hasilnya? Kita tidak tahu.
9. Terakhir terkait dengan keberatan dari pihak JATAM yang keberatan namanya disebut sebagai sumber data, jika benar itu persoalan serius. Mengapa? Sebab, menurut informasi dari JATAM sekitar bulan Agustus 2025 ada dua orang yang datang ke JATAM mengaku sebagai peneliti hilirasi tambang nikel dan meminta wawancara. JATAM menduga dua orang tersebut ada kaitannya dengan penelitian Bahlil. Jika benar, berarti Bahlil menyuruh orang lain untuk melakukan wawancara dengan pihak JATAM atas nama dirinya. Secara metodologis ini kesalahan fatal. Sebab, menurut teori-teori dalam metodologi penelitian yang selama ini saya pelajari dan saya ajarkan tidak boleh wawancara diwakilkan. Yang melakukan wawancara harus peneliti sendiri sebagai instrumen utama. Tidak sama dengan kuesioner yang bisa diwakilkan ke orang lain untuk menyebarkannya karena kesibukan atau alasan yang lain. Apa benar Bahlil menyuruh orang lain untuk wawancara dengan sumber data atas nama dirinya? Jika iya, berarti ada teori baru dalam penelitian kualitatif bahwa wawancara bsia diwakilkan. Secara metodologis, ini hal ‘baru’ dari disertasi Bahlil yang saya belum tahu.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan menyatakan jika pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab dan Bahlil telah menjalankan prosedur penelitian sebagaimana mestinya, ya Bahlil tenang saja dan fokus pada pekerjaannya sebagai menteri. Bagaimana pun Bahlil saat ini bukan sembarang orang. Bahlil adalah pejabat negara (menteri) dan salah seorang tokoh politik sebagai ketua umum Golkar. Wajarlah jika apa pun yang dilakukan mendapat sorotan masyarakat, baik yang pro maupun kontra. Di masyarakat selalu ada pihak yang senang dan yang tidak senang. Tetapi jika prosedur metodologis di atas tidak dilalui, wajar jika disertasi Bahlil mengundang banyak pertanyaan.
Sebagai seorang menteri yang tentu sangat sibuk, mestinya Bahlil memiilih pendekatan kuantitatif dalam penelitiannya, sehingga lulus dua tahun tidak dipersoalkan banyak orang. Dari sisi waktu, pendekatan kuantitatif jauh lebih pendek dibanding pendekatan kualitatif. Bahlil juga bisa menyuruh orang untuk mengedarkan kuesioner kepada responden dan analisis data dilakukan melalui aplikasi lewat jasa analisis data kuantitatif. Semua itu sah secara metodologis. Atau, Bahlil memllih metode penelitian kebijakan (policy research) sesuai tujuannya untuk menguji apa kebijakannya tentang hilirisasi nikel selama ini benar atau salah!
Penulis : Prof. Mudjia Rahardjo

