Refleksi pagi menjelang siang di tengah kota yang panas terik, saya duduk di sudut ruang, membuka layar laptop dan sambil menyaksikan tontonan Youtube yakni menyaksikan live pelantikan presiden baru kita, Mr. President Prabowo Subianto. Udara hangat khas Surabaya terasa menyelimuti, sementara layar menampilkan sosok beliau yang gagah di podium, dengan gaya kepemimpinan lantang yang begitu khas. Saat Prabowo mulai memberikan pidato pembuka yang penuh semangat, pikiran saya pun melayang.
Baru saja saya menuntaskan membaca salah satu buku karya Edward de Bono, "Six Thinking Hats". Buku itu membahas cara berpikir yang berbeda-beda, yang bisa diterapkan dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam kepemimpinan. Rasanya tepat sekali, saya berpikir, bahwa dalam memimpin negara sebesar ini, ada banyak cara untuk menavigasi berbagai masalah dan tantangan. Sama seperti enam topi yang disebutkan de Bono, setiap pendekatan memegang peran penting. Metode ini memecah proses berpikir menjadi enam "topi" atau perspektif yang berbeda, di mana setiap topi melambangkan cara berpikir yang berbeda.
Coba saya review singkat dengan pendekatan yang berbeda yang diimplementasikan seorang pimpinan negara.
![]() |
| Picture by Jason Devers |
1. Topi Putih: Fakta dan Data
Saat mendengarkan pidato, fakta-fakta dari pemilu masih segar dalam ingatan. Prabowo menang dengan suara mayoritas, janji-janji kampanyenya soal keamanan dan ketahanan nasional tampak ambisius, dan rakyat menaruh harapan besar di pundaknya. Di sini, fakta menjadi dasar karena tanpa pemahaman yang jelas tentang realitas, sulit untuk membuat keputusan yang tepat. Saya pun tersenyum, berpikir, dalam politik, topi putih ini sangat diperlukan sebagai pondasi yang kuat.
2. Topi Merah: Emosi dan Perasaan
Namun, di balik angka dan data, selalu ada "emosi yang berperan". Saat kamera menyorot wajah-wajah di antara para pendukungnya, saya bisa merasakan campuran antusiasme dan kegelisahan. Ada yang penuh harapan, ada pula yang skeptis. Ya, di situlah letak kekuatan topi merah. Tak ada salahnya menerima bahwa emosi baik positif maupun negatif selalu hadir dalam momen sebesar ini. Emosi-emosi inilah yang menggerakkan manusia, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat yang dipimpinnya.
3. Topi Hitam: Kritikan dan Risiko
Sebagai orang yang suka menganalisis, saya pun mulai memikirkan "potensi risiko". Setiap janji politik pasti memiliki tantangannya. Di tengah pidato yang lantang, saya membayangkan kritik yang mungkin muncul terkait kebijakan luar negeri yang keras, atau bagaimana Prabowo akan menghadapi perubahan iklim yang semakin mendesak. Ah, topi hitam ini memang selalu membawa kewaspadaan, dan mungkin itulah salah satu topi yang sering dipakai oleh mereka yang di luar lingkaran kekuasaan.
4. Topi Kuning: Optimisme dan Peluang
Tapi jangan salah, di tengah tantangan itu, selalu ada "peluang besar". Topi kuning mengingatkan saya bahwa terpilihnya Prabowo juga membuka kesempatan baru bagi Indonesia. Sebagai seorang yang tegas, mungkin dia akan berhasil memperkuat pertahanan negara, meningkatkan kemandirian pangan, dan menjadikan Indonesia lebih mandiri di bidang energi. Di sinilah letak pentingnya optimisme, melihat masa depan dengan harapan meski kita tahu banyak halangan yang menunggu.
5. Topi Hijau: Kreativitas dan Solusi Inovatif
Saat mendengarkan pidato yang penuh janji-janji besar, saya pun tak bisa menahan diri untuk berpikir tentang "solusi-solusi kreatif". Bagaimana jika Prabowo bisa mengadopsi teknologi pertanian modern atau memanfaatkan potensi digitalisasi ekonomi? Dunia terus bergerak maju, dan dengan topi hijau, kita diajak untuk berani bermimpi dan mencoba hal-hal baru. Siapa tahu, kepemimpinannya bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih inovatif.
6. Topi Biru: Kontrol dan Organisasi
Terakhir, tentu ada topi biru yang mengingatkan kita pada pentingnya pengorganisasian. Bagaimana pun juga, pelaksanaan janji-janji kampanye tak akan mungkin berhasil tanpa perencanaan dan manajemen yang baik. Sama halnya di bidang pendidikan, pemerintah perlu memastikan bahwa reformasi sistem pendidikan tidak hanya berhenti pada tataran wacana, tetapi juga diimplementasikan dengan baik di seluruh pelosok negeri. Kepemimpinan presiden baru harus memastikan sinergi antara kementerian, pemerintah daerah, dan institusi pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang merata..
![]() |
| Buku karya Edward De Bono "Six Thinking Hats" |
---
Duduk di sudut ruang yang masih diterangi matahari siang, saya berpikir bahwa memimpin negara ini membutuhkan lebih dari sekadar visi besar. Ini membutuhkan keseimbangan dari memahami fakta, merasakan emosi, menghadapi kritik, melihat peluang, menciptakan inovasi, hingga menjaga pengorganisasian yang baik. Sama seperti enam topi berpikir dari de Bono, setiap perspektif memiliki perannya sendiri.
Membaca buku Six Thinking Hats memberi saya perspektif baru bahwa memimpin, apalagi negara sebesar Indonesia, tidak hanya soal keputusan tunggal atau jalan satu arah. Setiap tantangan memiliki banyak sisi, dan cara berpikir yang beragam seperti yang ditawarkan dalam buku ini dapat menjadi pendekatan untuk mengatasi kompleksitas tersebut.
Dari sekadar memperhatikan pidato pembukaan new Mr. President ke-8 hingga berpikir lebih dalam tentang langkah ke depan, saya menyadari bahwa cara kita menilai kepemimpinan bukan hanya tentang janji-janji politik, tetapi bagaimana berbagai perspektif diterapkan secara bijaksana. Begitu pula dengan sektor pendidikan yang sangat krusial. Jika kita mampu menerapkan sudut pandang kreatif dan strategis, reformasi pendidikan yang kita butuhkan dapat lebih cepat terwujud dan beradaptasi dengan era modern yang terus berubah.
Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi

