Hari Santri: Refleksi Seorang 'Santri Rasa-Rasa' Menggali Nilai-Nilai Luhur Pesantren - Lens Of SAN

Hari Santri: Refleksi Seorang 'Santri Rasa-Rasa' Menggali Nilai-Nilai Luhur Pesantren

Hari Santri: Refleksi Seorang 'Santri Rasa-Rasa' Menggali Nilai-Nilai Luhur Pesantren

Menjadi 'Santri Rasa-Rasa' di Masa Sekolah Menengah,

Begitulah yang mungkin cocok disematkan untuk saya. Saya bukanlah santri tulen yang tumbuh dan dididik di pesantren sejak kecil. Namun, di masa sekolah menengah, saya pernah tinggal di asrama sekolah berbasis sistem boarding school yang sekilas mirip dengan kehidupan pesantren. Meski lingkungannya disiplin dan kolektif, tentu saja itu belum mendekati pendidikan di pesantren sesungguhnya. Saya lebih merasa seperti 'santri rasa-rasa', bukan santri sesungguhnya. Namun, pengalaman ini menjadi awal mula saya merasakan kedekatan dengan kehidupan asrama dan pendidikan kolektif. 


Benar-benar merasakan kehidupan sebagai santri baru saya rasakan ketika memasuki dunia kampus, dan itu pun karena kewajiban. Satu tahun pertama saya diwajibkan mengikuti program pembinaan berbasis pendidikan agama, hampir menyerupai kehidupan pesantren. Inilah kali pertama saya benar-benar terjun ke dalam lingkungan santri. Banyak teman saya adalah santri tulen yang sudah bertahun-tahun belajar di pondok pesantren. Interaksi dengan mereka membawa paradigma baru tentang kehidupan pesantren dan pendidikan keagamaan yang lebih mendalam. Sungguh luar biasa, bagaimana nilai-nilai pesantren berakar kuat dalam diri mereka.


Ada momentum yang membuat saya kaget, terheran-heran. Begitulah perasaan saya ketika tiba-tiba dinobatkan sebagai santri teladan tahun 2019 di Ma'had kampus. Saya, yang sebelumnya merasa bukan santri tulen, hanya bermodalkan kehadiran yang konsisten dan absensi yang selalu lengkap saat ta'lim, tiba-tiba mendapat pengakuan yang cukup menggelitik. Bahkan, ini menjadi guyonan tersendiri bagi saya. Siapa sangka, konsistensi sederhana ini membawa saya pada pengalaman yang berharga, meski di dalam hati masih bercampur rasa heran. Ini bukan ajang untuk haus akan validasi atas apa yang didapat, hanya untuk menjadi pengulangan ingatan lelucon yang benar terjadi di pribadi ini pada waktu itu, Ah lucu sekali. Saya bukan santri sejak kecil, tapi pengalaman ini tetap menjadi bagian dari perjalanan spiritual dan intelektual saya.


Oke kembali fokus, bahwa yang saya dapati sistem pendidikan di pesantren, baik salaf (tradisional) maupun khalaf (modern) ternyata tidak hanya mengajarkan hafalan Al-Qur'an atau kajian kitab kuning. Lebih dari itu, pendidikan karakter, kedisiplinan, dan keteguhan mental yang diajarkan di sana meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Tak heran jika banyak tokoh hebat lahir dari pesantren, baik dalam bidang agama, bisnis, maupun politik. Saya melihat dengan jelas bagaimana lulusan pesantren siap menghadapi dunia luar, bukan hanya dengan modal ilmu agama, tetapi juga dengan karakter dan etos kerja yang tangguh.


Picture by Bielha Nabielha 

Peran Pesantren dalam Perjuangan Bangsa: Sebuah Sejarah yang Berharga

Saat ini kita merayakan Hari Santri, yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, ada baiknya kita kembali merenungi peran besar santri dalam sejarah bangsa. Penetapan Hari Santri merujuk pada fatwa monumental yang dikenal sebagai 'Resolusi Jihad' yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini mendorong kaum santri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Resolusi Jihad menjadi tonggak penting dalam perlawanan di Surabaya yang kemudian dikenal sebagai 'Pertempuran 10 November'. Sejarah ini mencerminkan bahwa pesantren tidak hanya berperan dalam mendidik para santri secara keagamaan, tetapi juga turut mempertahankan kedaulatan bangsa.


Peran santri dalam sejarah bangsa kita menjadi alasan kuat mengapa pesantren harus terus dijaga dan dikembangkan. Hingga kini, santri tetap menjadi bagian dari benteng moral dan intelektual bangsa, menjaga nilai-nilai keislaman yang toleran dan damai. Mereka terus membuktikan bahwa pendidikan di pesantren tidak hanya menghasilkan ulama, tetapi juga pemimpin dan profesional di berbagai sektor.


Jika saya bisa memilih ulang waktu masih di bangku sekolah menengah, mungkin saya akan masuk ke pesantren, pikir saya sambil mengetik ini. Tapi, takdir membawa saya pada jalan berbeda yang tetap membuat saya bersyukur. Lingkungan yang saya tempati saat ini membawa saya dekat dengan pesantren, bahkan memungkinkan saya terlibat langsung dalam pendampingan kualitas mutu pendidikan beberapa pesantren. Dari sini, saya semakin menyadari betapa luar biasanya sistem pendidikan yang ada di pesantren, baik dari aspek keagamaan maupun pembentukan karakter. Keterlibatan saya di dunia ini mengajarkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga sekolah kehidupan yang membentuk santri menjadi manusia tangguh, mandiri, dan berintegritas.


Refleksi: Santri dan Pesantren di Era Modern

Walau begitu, di luar sana masih ada yang mendeskreditkan dan meragukan keberadaan pesantren. Bagi sebagian orang yang mungkin sensitif atau kurang mengenal pesantren, lembaga ini dianggap ketinggalan zaman. Namun, saya melihat sebaliknya. Pesantren justru menjadi lembaga yang fleksibel, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Saya semakin yakin bahwa pendidikan pesantren tetap relevan, bahkan penting, di era modern ini. Banyak alumninya yang berhasil menjadi pengusaha sukses, pemimpin di berbagai sektor, dan tokoh bangsa yang memberikan kontribusi nyata. Seperti halnya pada era baru pemerintahan saat ini, baik menteri atau badan lainnya, diisi banyak kalangan alumni santri. Ini membantah stigma bahwa santri adalah kalangan bawah berpakaian kemeja putih, sarung dan bersongkok dan tidak memiliki masa depan, seperti apa yang pernah saya dengar. 


Momen Hari Santri adalah saat yang tepat untuk merenung dan memberikan apresiasi kepada pesantren dan para santri yang telah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Sejarah telah membuktikan bahwa santri adalah penjaga dan penggerak moral bangsa, dan mereka akan terus berperan demikian di masa depan.


Picture by darunnajah.com

---

Meskipun saya bukan santri tulen, perjalanan ini membawa saya pada pemahaman yang mendalam tentang pesantren dan makna menjadi seorang santri. Dari luar, saya melihat keagungan yang ada di dalamnya—karakter yang ditempa dengan ketekunan, akhlak yang dijaga dengan ketat, dan ilmu yang dipelajari dengan hati yang terbuka. Pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi sebuah ekosistem yang membentuk manusia seutuhnya, baik dalam iman maupun amal.


Saya jadi teringat tokoh besar bersejarah, KH. Hasyim Asy'ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, pernah mengatakan bahwa pendidikan di pesantren adalah pendidikan karakter. Beliau menekankan bahwa ilmu pengetahuan saja tidak cukup tanpa akhlak yang baik. Kata-kata yang membuat saya terenyuh 

Jika ilmu tidak diiringi dengan akhlak yang mulia, maka ilmu itu akan melahirkan kecerdasan tanpa nurani,” ungkapnya. Ini adalah inti dari pendidikan pesantren, dimana ilmu agama dan pembentukan karakter menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.


Tak hanya itu, mantan Presiden ke-4 Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), yang juga seorang santri dan TebuIreng Jombangnya siapa yang tak mengenali? sering kali menegaskan peran besar pesantren dalam membangun identitas kebangsaan. 

Menurutnya, “Pesantren adalah benteng terakhir bangsa ini. Di sini kita menemukan kesederhanaan, kemandirian, dan integritas yang terus menerus diperbarui oleh semangat keagamaan.” Gus Dur melihat pesantren sebagai sumber kekuatan yang mampu mengokohkan fondasi moral bangsa sekaligus menjawab tantangan modernitas dengan bijak.


Hari Santri menjadi momen bagi kita, bukan hanya untuk merayakan, tapi juga untuk merenungkan—bagaimana para santri di seluruh penjuru negeri ini adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan masa depan bangsa. Dari sinilah saya belajar bahwa meski saya bukan santri tulen, semangat dan nilai-nilai luhur pesantren tetap mengalir dan membentuk saya hingga saat ini. Mereka yang pernah mencicipi kehidupan di pesantren, sejenak atau seumur hidup, adalah bagian dari ikatan tak terlihat yang terus membawa bangsa ini menuju puncak kejayaannya. Santri, baik tulen maupun 'dadakan' seperti saya, tetaplah pilar bagi masa depan Indonesia yang lebih bermakna. I'am believe it. Harap saya, jika bukan saya yang menjadi santri mungkin anak? cucu? atau siapapun kalian yang membaca, kelakar saya untuk menutup.. dari pribadi ini si 'Santri Rasa-Rasa'.


"Selamat Hari Santri Semangat Merawat Tradisi" 💫

Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi

Menunggu Pesan Indahmu :(