“Mengingat Kembali Orientalisme” Karya Erdward W. Said - Lens Of SAN

“Mengingat Kembali Orientalisme” Karya Erdward W. Said

“Mengingat Kembali Orientalisme” Karya Erdward W. Said

    

    Sedikit review buku karya Edward Said, yang sebelumnya saya tulis untuk memenuhi tugas perkuliahan. buku yang lumayan tebal dan mungkin bagi beberapa orang  sulit untuk dipahami secara langsung konteks tulisannya. 


Buku Orientalisme adalah karya monumental yang terbit pada tahun 1978 oleh seseorang yang bernama Erward W.Said. Said salah satu pemikir yang memelopori kajian pascakolonial. Sebelumnya terdapat beberapa tokoh seperti Aime Cesaire dan Frantz Fanon yang telah melakukan hal yang sama, masing-masing dengan bukunya From Discourse on Colonialism (1995) dan the Fact of Blackness (1952). Namun, yang pertama kali mengkritik ideologi kolonialisme secara diskursif adalah Orientalisme Said. Buku ini menjadi bentuk konsistensi Said untuk mengkaji ketimpangan relasi Timur dan Barat dengan membongkar teks-teks Serta menggugat hegemoni para orientalis Barat yang menganggap Timur sebagai objek.


Abad ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat. Orientalis mengkaji hampir semua disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara umum, orientalisme telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Wacana orientalisme ini lahir pada masa kolonialisme yang menuai berbagai kritik. Kritik terhadap era kolonialisme yakni yang disebut sebagai pasca kolonialisme.


Biografi Erdward W.Said


Erdward W. Said adalah seorang Kristiani, yang lahir di Yerussalem pada tanggal 1 November 1935. Bagi Erdward Said perjuangan ini bukanlah soal nama baik “agama”, melainkan lebih pada “nilai-nilai “kemanusiaan” yang selama ini masih menjadi barang langkah, apalagi disebuah negeri yang konon kemerdekaan tak akan menemukan jalan keluarnya.  Said memiliki kegelisahan terhadap identitasnya, yang saat itu dia bersekolah di Mesir pasca kekalahan Palestina pada tahun 1947 dengan perpaduan nama Inggris yakni Erdward dan nama Arab yakni Wadie. Di tahun 1951, Said menjadi imigran di Amerika Serikat, dia bersekolah di Northfield Mount Hermont School, dan melanjutkan studinya di Universitas Princeton. Ia kemudian berpindah ke Universitas Harvard, tempatnya meraih gelar master pada tahun 1960 dan doktor pada tahun 1964, keduanya dalam bidang sastra Inggris.


Tiga bab panjang dan dua belas sub bab pendek. Bab I (Ruang Lingkup Orientalisme) merupakan tema besar yang meliputi semua dimensi pokok pembahasan, baik dari aspek sejarah dan pengalaman-pengalaman maupun dari aspek tema-tema filosofis, dan politis. Bab II (Re) Strukturasi Orientalisme) berusaha melacak perkembangan orientalisme modern dengan uraian kronologis yang luas dan juga uraian tentang seperangkat teknik yang lazim diterapkan dalam karya para penyair, seniman, dan cendekiawan terkemuka. Bab III ( Orientalisme Masa Kini ) diawali dengan pembahasan orientalisme pada 1870-an. Periode ini merupakan ekspansi kolonial besar-besaran dan mencapai puncaknya dalam Perang Dunia II. Bagian yang terakhir dari Bab III yakni melukiskan hegemoni Inggris dan perancis menuju hegemoni Amerika.


Orientalisme secara harfiah berasal dari kata “Orient” dan Isme, kata Orient berasal dari bahasa Perancis yang artinya, Timur, dan Isme diartikan sebagai paham. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti “hal-hal yang bersifat Timur” yang cakupannya amat luas. Orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi yang dilakukan oleh selain orang Timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik agama, sejarah, maupun permasalahan sosio kultural. Para orientalis adalah para sarjana yang mengabdikan hidupnya untuk meneliti suatu proyek pengetahuan, yang bertujuan untuk mengenal, mengetahui, menguasai, dan menjajah. Awalnya adalah studi ilmiah yang bersifat akademis, namun kemudian tujuan tersebut ditunggangi dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang berujung kolonialisme. Kemunculan wacana orientalisme secara formal pada abad ke 13 di Gereja Wina ditandai dengan munculnya berbagai lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah Universitas Eropa.


Dalam Bab 1 Edward Said membahas sejumlah konsep kunci yang membentuk landasan argumennya. Salah satu fokus utamanya adalah mendefinisikan apa yang disebutnya sebagai "orientalisme" dan menguraikan perkembangan sejarahnya.


Said menyelidiki bagaimana pandangan Eropa terhadap Timur telah berkembang seiring waktu, khususnya selama abad ke-18 dan ke-19. Dia merinci bagaimana para sarjana, peneliti, dan intelektual Eropa menggambarkan dan memahami dunia Timur dalam karyanya. Said menyoroti cara pandang ini sering kali menciptakan perbedaan biner antara Barat dan Timur, dengan Barat ditempatkan sebagai yang superior dan Timur sebagai yang inferior.


Selain itu, dalam bab ini, Said juga mengeksplorasi keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Dia menunjukkan bahwa orientalisme bukan hanya suatu bidang studi akademis, tetapi juga suatu bentuk dominasi intelektual yang mendukung upaya kolonialisme dan imperialisme.


Bab pertama "Orientalisme" ini membentuk dasar konsep dan argumen Said, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya. Said secara kritis menganalisis bagaimana orientalisme telah membentuk pandangan Barat tentang Timur dan menggambarkan bagaimana pengetahuan tersebut tidak hanya bersifat akademis tetapi juga memiliki dampak besar pada kebijakan dan tindakan politik.


Dasar pemikiran Erward W. Said dipengaruhi oleh Michael Faucault dengan gagasannya yakni pengetahuan, kekuasaan, wacana. Orientalisme memanfaatkan pengetahuan dalam merumuskan masyarakat yang berada dalam kajiannya, disinilah otoritas berperan dalam menentukan kesepakatan. Kebenaran juga ditentukan oleh kelompok yang mengkaji ini, ia mengatur dan memaksa subjek secara sistematis agar menyesuaikan diri dengan melakukan hal itu melalui wacana. Tokoh yang kedua yakni Antonio Gramschi, ia berpendapat bahwa kelas sosial akan memperoleh keunggulan supremasi melalui dua cara yakni melalui dominasi dan paksaan. Yang keduanya dapat terjadi melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Dominasi yakni kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, ini lah yang disebut sebagai hegemoni.


Hegemoni hakikatnya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme

  1. Kekuasaan politis ( pembentukan kolonialisme dan imperialisme)
  2. Kekuasaan Intelektual ( mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain)
  3. Kekuasaan kultural ( kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetika colonial, yang secara mudah ditemukan di India)

Ruang lingkup orientalisme juga meliputi pembagian wilayah yang dianggap Timur oleh sarjana Inggris, Perancis, dan Jerman dengan wilayah Timur dalam pandangan sarjana Amerika. Timur bagi sarjana Eropa adalah Mesir, India, dan negara-negera Islam di Timur Tengah dan sebagian Asia. Sedangakan Timur bagi orientalis Amerika adalah Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan Filipina.


Orientalisme muncul dengan awal perkembangan yang secara fisikal, dari perkembangan secara fisikal maka barat memiliki ingin pengetahuan dengan melakukan penjelajahan-penjelajahan namun berkembang menjadi imajinatif menjadi gagasan, sehingga Baratlah yang mendefinisikan Timur. Mesir menjadi objek pertama para orientalis inggris untuk meneliti bagaimanakah dunia Timur sebenarnya, Mesir dianggap pusat peradaban Islam saat itu, yang banyak jejak peninggalan yang membuat para Orientalis tertarik untuk menjelajah Mesir yang berakhir pada penjajahan.


Pengetahuan tentang Mesir tak jauh berbeda dengan pengetahuan Balfaur tentang negri tersebut, berbagai masalah jelas timbul seperti perihal inferioritas dan superioritas walaupun hal itu tak di hiraukan oleh Balfour. Ia menganggap bahwa mesir tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan inggris, Superioritas ini dibuktikan dengan adanya pemikiran-pemikiran bahwa Orang Eropa punya watak yang cermat, rasional, dan penalar yang cerdas,luhur sedangkan orang Timur digambarkan sebaliknya yakni sebagai makhluk yang irrasional, pemalas, bermoral buruk, dan makhluk yang mudah dikecoh. Bagi Said identitas seorang individu ataupun suatu bangsa tidak dapat dimampatkan, atau digeneralisasikan menjadi “satu-satunya” identitas. Namun, yang terjadi saat itu adalah, Barat yang seolah-olah membentuk identitas Timur layaknya papan tulis yang jejak-jejaknya bisa dihapus dan kita bisa tinggal di sana dengan menanamkan nilai-nilai yang kita kehendaki.


Tokoh yang bernama Cromer dari Inggris ini menganggap bahwa Orang timur hanyalah sebagai bahan baku manusia yang diurusi oleh koloni-koloni Inggris pada saat itu. Kemajuan besar-besaran dalam orientalisme bersamaan waktunya dengan periode ekspansi Eropa. Sejak tahun 1815 sampai dengan 1914, daerah jajahan Eropa meluas dari kurang lebih 35% menjadi 85% .Dua kerajaan besar yang menguasai yakni Inggris, dan Perancis.


    Pada abad ke 19-20 perkembangan gagasan orientalisme menjadi beragam bersamaan dengan meningkatnya lembaga-lembaga kajian di Eropa seperti Societe Asiatique, The Royal Asiatic Society, Deutsche Morgenlandische, Gesellschaft, dan American Oriental Society. Kajian orientalisme memaksakan pembatasan-pembatasan terhadap pemikiran mengenai dunia Timur sehinggan terwujud suatu pandangan politis yang strukturnya justru mempertajam perbedaan antara “kita” yakni orang Barat dan “mereka” Orang Timur.


    Geografi imajinatif, kemudian menjadi salah satu praktik orientalis untuk membedakan identitas timur dengan barat dalam batas-batas teritorial meskipun sedikit imajiner. Ruang lingkup orientalisme juga meliputi pembagian wilayah yang dianggap Timur oleh sarjana Inggris, Perancis, dan Jerman dengan wilayah Timur dalam pandangan sarjana Amerika. Timur bagi sarjana Eropa adalah Mesir, India, dan negara-negera Islam di Timur Tengah dan sebagian Asia. Sedangakan Timur bagi orientalis Amerika adalah Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan Filipina di kemudian harian.


    Dalam Geografi Imajinatif, Timur yang dikaji adalah Timur yang berupa dunia tekstual. Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan manuskrip-manuskrip yang sifatnya sangat tekstual. Eropa mencoba memisahkan dunia Timur dengan dunia Barat dengan ideology yang dibangun bukan pada kondisi geografisnya namun kondisi geografi yang diimajinasikan. Salah satu bentuk drama dalam teater orientalis adalah karya Barthelemy d’Herbelot, Biblitheque Orientals, yang diterbitkan pada tahun 1697. Timur dianggap sebuah metafora yang dalam wacana barat hanyalah berfungsi sebagai panggung dramaturgi. Dimana Timur adalah pemerannya dan Barat adalah sutradaranya. Tak sampai situ, Barat menemukan deskripsi-deskripsi yang sebagaimana ditemukan dalam Inferno sebagaimana terdapat dalam Bibliotheque karya d’Herbelot yakni menganggap bahwa Muhammad adalah penipu.


    Islam dianggap sebagai agama versi baru yang palsu dari suatu pengalaman yang dikenal sebelumnya, dalam hal ini adalah agama Kristen. Setelah wafatnya Muhammad pada 632, hegemoni militer, budaya, dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Faktor pendorong gerakan orientalisme yang utama adalah agama, kemunculan ini adalah respon dari sentiment para rahib gereja yang ingin menyerang Islam, merusak eksistensi Islam, dan membalikkan fakta kebenaran dalam ajaran Islam.  Agama menjadi awal pintu masuk orientalisme karena agama dianggap sebagai obor pemanas. Pada pertengahan abad 15 R.W. Southern, meyakinkan bahwa para pemikir eropa bahwa “harus ada sesuatu yang dilakukan terhadap Islam” yang mana ditindaklanjuti dengan adanya konferensi yang bertahap yang digagas oleh John, Nicholas, Jean, dan Aenes Silvius. Tujuannya adalah mengkristenkan orang Islam secara besar-besaran dengan narasi yang dibangun yakni Islam adalah agama yang sesat.


    Tokoh Barat yang bernama Soultern menganggap bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu,penjelmaan nafsu seks yang besar, kebejatan moral, sodomi, dan semua bentuk rga sifat khianat lainnya yang semuanya bersumber dari pemalsuan-pemalsuan doktrinalnya, yakni Islam. Eropa menganggap bahwa Timur meniru dalam bentuk pengulangan dan pemalsuan dari mereka yang orisinil (Kristus, Eropa, Barat). Inilah taktik yang digunakan barat untuk memurtadkan kaum Muslim dari agamanya sendiri, dengan meragukan kebenaran Nabi Muhammad dan hadis yang dijadikan sebagai pedoman.


    Seolah kita dipaksa untuk melihat kesesuaian antara bahasa yang digunakan untuk melukiskan Timur dengan Timur itu sendiri. Siapa saja yang menggunakan orientalisme untuk mengkaji masalah-masalah, objek-objek, kualitas-kualitas, dan daerah-daerah yang dicap sebagai “Timur”, pada akhirnya akan menentukan, menamakan, dan bahkan menetapkan perkataan dan pemikirannya dengan sebuah kata atau ungkapan yang kemudian menjadi wacana.


    Pada masa-masa terakhir ini orientalisme bagaimanapun juga mulai tampak melepaskan diri dari belenggu tersebut dan beralih mendekati semangat ilmiah. Penyebaran dan kawasan pengaruhnya Barat merupakan arena gerakan kaum orientalis. Mereka terdiri atas orang-orang Jerman, Inggris, Prancis, Belanda dan Hongaria. Mereka sebagian muncul di Italia dan Spanyol. Sekarang Amerika merupakan pusat orientalisme dan pengkajian Islam. Pemerintah lembaga-lembaga ekonomi yayasan dan bahkan gereja tidak segan-segan menguras dana keuangan dan dukungan. Mereka juga menyediakan fasilitas untuk pengkajian keislaman di universitas-universitas sampai jumlah orientalis menjadi ribuan orang.


Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, beragam bentuk orientalisme yang pertama yakni adanya kontruksi yang bertentangan dalam Orientalisme yang merupakan sebuah paham yang mengkonstruksi antara negara timur dan barat, yang keduanya dijadikan saling bertentangan atau oposisi. Yang kedua yakni fantasi dari barat yang dibuat oleh orang-orang yang menganggap bahwa dirinya lebih unggul dari orang Timur, yang melahirkan suatu superioritas dan inferioritas. Orientalisme yang bersifat Institusional, menurut Erdward Said, orang-orang asia cocok untuk dipelajari dalam dunia akademik. Itulah yang membuat orang barat merumuskan pengetahuan sesuai dengan versinya.


Dalam konstruksi ras dan gender, Said menggambarkan bahwa warna kulit para orientalis Eropa yang secara aktual dan dramatis, meyakinkan dan membedakan mereka dari lautan manusia pribumi seperti India, Afrika, dan Arab adalah penanda kelebihan mereka atas ras lain di Timur.  Inilah tradisi kejayaan kulit putih di daerah koloninya sebagaimana digambarkan dalam puisi Kipling yang berjudul Manusia Kulit Putih:


Inilah jalan yang ditempuh manusia kulit putih, Ketika ia pergi untuk membersihkan suatu negeri. Besi di telpak kaki dan ranting2 pohon anggur di atas kepala. Dan kedalaman di sebelah kanan maupun kiri. Kita telah menempuh jalan itu-jalan yang basah dan berbadai Dengan bintang pilihan sebagai pandu. Wahai, berbahagialah dunia ketika manusia kulit putih menyusurui  Jalan lintas mereka berdampingan.


    Dengan demikian menjadi manusia kulit putih adalah gagasan sekaligus realita yang melibatkan dunia kulit putih maupun non putih. Ia adalah otoritas yang harus dipatuhi oleh orang non kulit putih yakni Timur. Gagasan seperti itu muncul dan mencuat dari lingkungan historis dan budaya yang kompleks dan lazim dalam tradisi para orientalis abad kesembilan belas. Sikap superioritas kulit putih senantiasa menganggap bahwa mereka lebih cendikia, lebih baik, lebih tinggi, dan lebih beradab jika dibandingkan dengan orang kulit berwarna yakni Timur itu sendiri.


Kritik Said terhadap Orientalisme


Pengaruh pemikiran Erward Said tentang Orientalisme , kritik Said terhadap Orientalisme adalah mengenai bagaimana cara orientalisme bekerja. Barat merepresentasikan bahwasanya “Timur” tidak seperti kenyataannya (objektif), melainkan bagaimana seharusnya (subjektif). Barat menganggap bahwa Timur adalah kawasan nun jauh di sana, yang eksotik (dapat dieksploitasi), yang feminine, yang penuh dengan romansa, kenangan, janji-janji, dan imaji-imaji yang disebut dengan Geografi Imajinatif. Paradigma yang digunakan untuk mengkaji budaya ketimuran oleh Barat adalah selalu memunculkan sosok “dunia lain” di mata Eropa.  Timur dianggap hanya sebagai panggung teater yang mana para Orientalisme menjadi sutradara, dan Timur menjadi pemerannya.


Erward dengan lantang mengkritik hegemoni Barat terhadap Timur yang mendominasi dengan mendefinisikan Timur sebagai inferior dan Barat sebagai superior. Barat mengkonstruksi Timur dengan ilmu pengetahuan yang mereka jadikan sebagai alat untuk penjajahan, dan perampasan. Setelah orientalisme berhasil mewujudkan kolonialisme di negara jajahan, maka motif selanjutnya adalah keinginan menguasai pasar-pasar perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, dan kekayaan alam, serta mengekspor sumber daya alam migas, maupun non migas dengan harga semurah mungkin dengan menjadikan kekuasaan politik menjadi kepentingan negaranya.


Dengan adanya kritik pedas Erward W. Said ini maka lahirlah suatu respon untuk memukul wacana Orientalisme oleh pemikir-pemikir yang lain, yakni  dengan munculnya wacana oksidentalisme yakni wacana tentang Barat dengan berbagai aspek oleh Hasan Hanafi.


Sisi positif dari Orientalisme


        Para orientalis adalah orang yang mengabdikan hidupnya untuk mengkaji suatu pengetahuan,  mereka berperan bagi keberlangsungan pengetahuan, keilmuwan, dan peradaban di dunia Timur, misalnya adalah Antony Black yang isinya tentang bagaimana politik Islam berlangsung sejak dari Nabi Muhammad sampai saat ini dan juga lahirnya penulis-penulis penting dalam mengkaji Timur pada abad ke 19, seperti karya-kaya Hugo, Goethe, Nerval, Falubert.


   Dari serangkaian buku Orientalisme yang menjadi pemikiran Erdward Said terhadap suatu identitas, maka masyarakat timur seharusnya punya kemampuan dan hak untuk mengkonstruksi dan membentuk bagaimana citra mereka sendiri tanpa ada tendensi apapun, buku ini juga memberi peringatan bahwa kini sistem pemikiran seperti orientalisme, wacana kekuasaan, dan fiksi-fiksi ideologis, serta kekangan-kekangan dalam pikiran manusia telah diciptakan dan diterapkan tanpa pertimbangan yang bijaksana. 


----

Menurut reviewer buku ini secara umum mengajak kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana pengetahuan dibentuk, oleh siapa, dan untuk tujuan apa. Said mengingatkan kita bahwa representasi budaya bukanlah hal netral, melainkan merupakan hasil dari kekuasaan, politik, dan ideologi tertentu. Oleh karena itu, memahami kritis orientalisme membantu kita mengenali dan merespons cara-cara di mana pengetahuan dibentuk dan digunakan untuk membentuk realitas kita.



Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi


Buku Orientalisme Karya Edward W. Said.


Menunggu Pesan Indahmu :(