Pergulatan - Lens Of SAN

Pergulatan

Pergulatan

Pernah berada di posisi bingung?
Di antara “ya” dan “tidak”, antara “mendukung” dan “menentang”?
Di antara suara hati dan logika yang saling bertubrukan, hingga pikiran rasanya runyam dan batin terasa lelah?

Setiap manusia pasti pernah.


Kita diberi anugerah akal dan perasaan bukan untuk selalu tenang, tapi untuk diuji dalam dinamika yang terus berganti. Kadang hidup datang seperti ombak pasang yang menghantam keras, lalu surut perlahan meninggalkan ketenangan semu di tepi pantai kesadaran kita. 


Namun sering kali, kita justru enggan melihat pergulatan itu sebagai peluang untuk tumbuh. Kita ingin lekas selesai, lekas tenang, lekas “baik-baik saja”. Padahal, mungkin di sanalah Tuhan sedang mengundang kita untuk belajar mengenali diri.


Saya teringat ucapan seorang teman,

“Masalah dan ujian itu tanda bahwa Tuhan peduli. Ia ingin tahu bagaimana caramu menanggapi.”

Kalimat itu sederhana, tapi menembus. Bahwa ujian bukan semata cobaan, melainkan cara Tuhan berbisik: “Aku masih melihatmu, maka Aku masih mengujimu.”


Dalam buku The Righteous Mind yang baru saya beli di event pameran Semesta Buku x Gramedia, Jonathan Haidt menulis sesuatu yang menggelitik kesadaran saya, 

“Saya tidak mengatakan bahwa kita harus hidup seperti Sen-tsan. Dunia tanpa moral, gosip, dan penghakiman akan runtuh menjadi kekacauan. Namun bila kita ingin memahami diri kita sendiri, perpecahan kita, batas kita, dan potensi kita, kita perlu melangkah mundur, meninggalkan moralisme, menerapkan psikologi moral, dan menganalisis permainan yang sedang kita mainkan.”

Kutipan itu membuka mata, bahwa di balik setiap sikap kita entah mendukung atau menentang selalu ada permainan moral yang sedang berjalan. Kita berdebat bukan semata karena benar atau salah, tapi karena ingin merasa berada di pihak yang lebih benar. Kita membela bukan semata karena paham, tapi karena ingin didengar. 


Dan di titik itulah “pergelutan” menemukan maknanya.
Ia tidak hanya terjadi di forum-forum besar, tapi juga di ruang paling sunyi di kepala kita.
Ada suara lembut yang mengajak berempati, tapi ada pula nalar keras yang menuntut keadilan. Ada hati yang ingin memahami, tapi ada ego yang ingin menang.


Menjadi manusia berarti belajar menyeimbangkan keduanya.
Belajar menimbang tanpa tergesa menghakimi.
Belajar memahami tanpa harus kehilangan prinsip.
Belajar mendukung tanpa harus meniadakan yang berbeda.


Sebab hidup bukan soal selalu benar atau salah.

Hidup adalah tentang bagaimana kita mengelola ruang “di antara” itu — ruang kecil tempat hati, akal, dan iman berdebat, lalu perlahan saling menuntun menuju kedewasaan.


Dan barangkali, di situlah Tuhan paling dekat dengan kita 
bukan saat kita merasa menang,
tetapi saat kita sedang bergelut mencari arah yang benar.

Jalan sempurna semata sukar

bagi yang yang memilah dan memilih. 

Jangan menyukai, jangan tidak menyukai

semuanya akan lantas jernih.


Buatlah perbedaan setipis helaian rambut

Langit dan Bumi pun terpisah. 

Bila kau ingin kebenaran berdiri jelas di depanmu,

jangan mendukung ataupun menantang.


Pergelutan antara “mendukung” dan “menentang”

adalah penyakit akal terburuk.

 

-----


Epilog


Kadang, pergulatan tak perlu segera dimenangkan.
Cukup dijalani dengan jujur, dengan hati yang terbuka dan doa yang tak putus.
Sebab bisa jadi, yang Tuhan kehendaki bukan hasil dari pergulatan itu,
melainkan siapa diri kita setelah melewatinya.


Penulis: Ihsan Zikri



Beli bukunya disini di Event Semesta Buku x Gramedia









Menunggu Pesan Indahmu :(