Oktober 2024 - Lens Of SAN

LENS OF SAN

Opini dan Refleksi Seorang Pencandu Martabak Manis

Artikel

baca dong kak :)


Ketika Kehampaan Menghampiri,

Suatu malam yang tenang, saat gelapnya sinar lampu kamar yang sudah mati, ponsel bergetar. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul dari sahabat lama yang jarang sekali saya dengar kabarnya. Dengan rasa penasaran, saya membuka pesan tersebut. Ia menanyakan kabar, namun lebih dari itu, ia ingin berbagi cerita tentang sebuah perasaan yang cukup mendalam tentang kehampaan yang menyelimutinya meski hidupnya terlihat baik-baik saja.


Dalam pesan-pesan yang mengalir, ia bercerita tentang pencapaian yang telah diraihnya karier yang mapan, teman yang banyak, bahkan ibadah yang rajin dijalankannya. Namun, di balik semua itu, ada ruang kosong yang menggelayuti hatinya, seakan-akan sebuah kabut tebal menyelimuti jiwanya, menghalangi cahaya kebahagiaan yang seharusnya menerangi hidupnya. 


"Aku tidak mengerti," tulisnya. "Kenapa aku masih merasa hampa? Seolah ada yang hilang meski segala sesuatu di luar terlihat baik." Dalam setiap kalimat, saya merasakan kepedihan dan kebingungan, sebuah refleksi dari perjalanan spiritual yang tak selalu sejalan dengan pencapaian duniawi. 

Perasaan kehampaan ini bukanlah hal yang asing. Banyak dari kita yang di tengah kesibukan dan kesuksesan, sering kali merindukan sesuatu yang lebih—makna yang lebih dalam dalam hidup, sebuah koneksi yang lebih kuat dengan diri sendiri dan dengan Sang Pencipta. Sahabatku adalah cerminan dari banyak jiwa yang berjuang di tengah riuhnya dunia, terjebak dalam paradoks antara pencapaian dan keheningan batin. 


Dalam keheningan kami berdiskusi, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan apa yang kadang sulit dipahami. Apa sebenarnya yang hilang? Apa yang dapat mengisi kekosongan ini? Dialog kami bukan sekadar obrolan biasa, tetapi sebuah perjalanan untuk memahami bahwa terkadang, di balik rutinitas ibadah dan pencapaian, ada pencarian yang lebih dalam yakni pencarian makna yang membawa kita pada kedamaian sejati. 


Kisah ini adalah undangan bagi saya pribadi untuk merenungkan perjalanan batin kita masing-masing. Mencoba menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang benar-benar kita butuhkan, dan menjadikan setiap ibadah bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai jalan untuk mengisi kehampaan yang sering kali tak terucapkan.


Saya jadi teringat salah satu filsuf yang saya gemari dengan karya dan retorik sejuk nan damainya dalam menyampaikan. Ya, Dr. Fahruddin Faiz seorang filsuf dan dosen yang kerap menyelami persoalan jiwa dalam relasi dengan Tuhan, pernah menyebutkan bahwa kehampaan dalam hati bukanlah tanda dari kurangnya ibadah atau lemahnya iman. Menurutnya, kehampaan itu sering kali adalah ruang kosong yang sengaja Tuhan sisakan agar manusia terdorong untuk terus mencari, terus berproses, dan mendekat pada hakikat ketulusan yang sesungguhnya. 


Pertanyaan yang timbul, apakah selama ini "ketulusan yang sesungguhnya" belum sampai kepada kita atau kita yang tak menjemputnya (?)


Mungkin, manusia ini adalah orang yang tak pandai bercerita, bahkan kepada Tuhannya. Ia datang dengan hati penuh harap, tapi tiap kata terasa hambar, setiap permohonan terasa lemah. Ia ingin mengatakan betapa ia membutuhkan kehadiran yang lebih nyata, ingin berbagi kehampaan yang menguasai jiwanya, tapi tak ada kata yang tepat. Seperti ada jarak, dan ia tak tahu bagaimana mendekatkan dirinya. Seolah berusaha membaca peta tanpa tahu di mana ia berada.


Kehampaan itu bukannya tak terlihat. Di malam-malam panjang, ia merasa seperti seorang pejalan yang terjebak di tengah padang luas tanpa penunjuk arah. Ia merasa telah berbuat, berusaha, tapi tak menemukan jejak kepastian yang menenangkan. Dan akhirnya, ia kembali diam, terjebak dalam cerita yang hanya ia sendiri yang mendengar.


Namun, ada sesuatu yang mungkin belum ia sadari. Barangkali, kehampaan itu adalah panggilan. Sebuah ajakan untuk berhenti mencari kebahagiaan di dalam ibadah semata, melainkan menyadari bahwa kebahagiaan sejati hadir ketika ibadah menjadi jalan untuk mencintai-Nya, bukan hanya sekadar mencari ketenangan. Mungkin di situ, di balik keheningan yang hampa, tersimpan petunjuk tersembunyi yang sedang menuntunnya untuk membuka hati dengan lebih tulus dan menghapus keinginan manusiawi yang terlalu mendominasi. 


Sebab, kadang-kadang kehampaan adalah cara Tuhan untuk mengajak kita berbicara lebih dalam, untuk bercerita, untuk membuka diri tanpa syarat. Untuk menyadari bahwa kita beribadah bukan hanya untuk memenuhi kehampaan itu, melainkan untuk melebur di dalam kasih-Nya.


Kisah lain yang mengingatkan saya pada sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Ya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dikenal karena keteguhan imannya dan kedalaman spiritualnya. Setelah Nabi diangkat menjadi rasul, Abu Bakar adalah orang pertama yang menerima dan membenarkan kenabian beliau. Meskipun memiliki banyak kekayaan dan kedudukan yang tinggi, ia selalu merasa ada yang lebih penting dari sekadar harta dan status sosial.


Suatu ketika, Abu Bakar mengalami masa-masa sulit. Dia merasakan kehampaan meskipun di luar tampak sukses. Dalam perjalanan hidupnya, ia sering kali merenungkan kehidupan dan tujuan sebenarnya. Hal ini mendorongnya untuk lebih mendalami agama dan mendekatkan diri kepada zat yang  Agung Allah SWT..


Di satu sisi, ia menikmati kesenangan duniawi yang ada, namun di sisi lain, ia sangat sadar bahwa semua itu tidak akan abadi. Dalam pencarian makna ini, Abu Bakar sering melakukan kebaikan, membantu orang yang membutuhkan, dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Dengan cara itu, ia menemukan kepuasan dan rasa syukur yang mendalam. Ibadah dan kebaikan yang dilakukannya menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan batin.


Abu Bakar juga dikenal karena doanya yang penuh kerendahan hati. Ia sering memohon kepada Allah agar diberi petunjuk dan kekuatan untuk tetap di jalan-Nya. Dalam doanya, ia mengungkapkan rasa takutnya akan kehilangan nikmat iman dan ketidakmampuannya merasakan kedekatan dengan Allah. Ia berkata, "Ya Allah, jangan biarkan hatiku kosong dari cahaya-Mu dan jangan biarkan aku terjebak dalam kesenangan dunia yang membuatku melupakan-Mu."


Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajarkan kita bahwa pencarian makna dalam hidup sering kali melibatkan perjalanan spiritual yang mendalam. Meskipun kita memiliki pencapaian di dunia ini, kita harus tetap sadar akan kehampaan yang mungkin menyelubungi hati kita. Dengan memperdalam iman, melakukan kebaikan, dan selalu bersyukur atas nikmat yang ada, kita dapat mengisi batin kita dengan kehadiran Tuhan.

---

"Syukur kuucapkan dalam hati," bisikku dalam pikiran, "masih ada kesadaran akan kehampaan ini, daripada tidak sama sekali terlintas dalam benak." Kehampaan yang menghampiri bukanlah tanda kelemahan, melainkan panggilan untuk merenung dan mengeksplorasi lebih dalam. Kesadaran ini, meskipun kadang menyakitkan, adalah titik awal yang berharga dalam perjalanan spiritual kita.


Mungkin cerita sahabat lamaku itu juga bisa terjadi bagi diriku dan bagi kalian yang membaca. Kita semua memiliki momen di mana pencapaian di luar tidak sejalan dengan perasaan batin. Ada kalanya hidup terasa hampa, meski secara fisik kita dikelilingi oleh segala sesuatu yang kita inginkan. Dalam setiap detik yang kita luangkan untuk merasakan kehampaan, kita diberi kesempatan untuk lebih peka terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Betapa beruntungnya kita, masih memiliki ruang untuk bertanya, untuk mencari, dan untuk tumbuh. 


Doaku, semoga batin ini selalu terisi dan tidak kosong, karena aku takut akan nikmat yang Engkau berikan tak bisa aku rasakan dengan sepenuh hati. Nauzubillah, jangan biarkan kami terlepas dari kesadaran akan keindahan dan karunia-Mu. Jadikanlah kami hamba yang selalu bersyukur dan mampu merasakan setiap nikmat yang Engkau limpahkan, baik dalam suka maupun duka. Aamiin.


Mungkin ini akan menjadi satu bagian dari sub tulisan dari buku yang akan saya sempurnakan yang sudah lama saya tuliskan 2 tahun lalu dan mangkrak, Semoga.


Penulis: Ihsan Zikri

Menjadi 'Santri Rasa-Rasa' di Masa Sekolah Menengah,

Begitulah yang mungkin cocok disematkan untuk saya. Saya bukanlah santri tulen yang tumbuh dan dididik di pesantren sejak kecil. Namun, di masa sekolah menengah, saya pernah tinggal di asrama sekolah berbasis sistem boarding school yang sekilas mirip dengan kehidupan pesantren. Meski lingkungannya disiplin dan kolektif, tentu saja itu belum mendekati pendidikan di pesantren sesungguhnya. Saya lebih merasa seperti 'santri rasa-rasa', bukan santri sesungguhnya. Namun, pengalaman ini menjadi awal mula saya merasakan kedekatan dengan kehidupan asrama dan pendidikan kolektif. 


Benar-benar merasakan kehidupan sebagai santri baru saya rasakan ketika memasuki dunia kampus, dan itu pun karena kewajiban. Satu tahun pertama saya diwajibkan mengikuti program pembinaan berbasis pendidikan agama, hampir menyerupai kehidupan pesantren. Inilah kali pertama saya benar-benar terjun ke dalam lingkungan santri. Banyak teman saya adalah santri tulen yang sudah bertahun-tahun belajar di pondok pesantren. Interaksi dengan mereka membawa paradigma baru tentang kehidupan pesantren dan pendidikan keagamaan yang lebih mendalam. Sungguh luar biasa, bagaimana nilai-nilai pesantren berakar kuat dalam diri mereka.


Ada momentum yang membuat saya kaget, terheran-heran. Begitulah perasaan saya ketika tiba-tiba dinobatkan sebagai santri teladan tahun 2019 di Ma'had kampus. Saya, yang sebelumnya merasa bukan santri tulen, hanya bermodalkan kehadiran yang konsisten dan absensi yang selalu lengkap saat ta'lim, tiba-tiba mendapat pengakuan yang cukup menggelitik. Bahkan, ini menjadi guyonan tersendiri bagi saya. Siapa sangka, konsistensi sederhana ini membawa saya pada pengalaman yang berharga, meski di dalam hati masih bercampur rasa heran. Ini bukan ajang untuk haus akan validasi atas apa yang didapat, hanya untuk menjadi pengulangan ingatan lelucon yang benar terjadi di pribadi ini pada waktu itu, Ah lucu sekali. Saya bukan santri sejak kecil, tapi pengalaman ini tetap menjadi bagian dari perjalanan spiritual dan intelektual saya.


Oke kembali fokus, bahwa yang saya dapati sistem pendidikan di pesantren, baik salaf (tradisional) maupun khalaf (modern) ternyata tidak hanya mengajarkan hafalan Al-Qur'an atau kajian kitab kuning. Lebih dari itu, pendidikan karakter, kedisiplinan, dan keteguhan mental yang diajarkan di sana meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Tak heran jika banyak tokoh hebat lahir dari pesantren, baik dalam bidang agama, bisnis, maupun politik. Saya melihat dengan jelas bagaimana lulusan pesantren siap menghadapi dunia luar, bukan hanya dengan modal ilmu agama, tetapi juga dengan karakter dan etos kerja yang tangguh.


Picture by Bielha Nabielha 

Peran Pesantren dalam Perjuangan Bangsa: Sebuah Sejarah yang Berharga

Saat ini kita merayakan Hari Santri, yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, ada baiknya kita kembali merenungi peran besar santri dalam sejarah bangsa. Penetapan Hari Santri merujuk pada fatwa monumental yang dikenal sebagai 'Resolusi Jihad' yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini mendorong kaum santri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Resolusi Jihad menjadi tonggak penting dalam perlawanan di Surabaya yang kemudian dikenal sebagai 'Pertempuran 10 November'. Sejarah ini mencerminkan bahwa pesantren tidak hanya berperan dalam mendidik para santri secara keagamaan, tetapi juga turut mempertahankan kedaulatan bangsa.


Peran santri dalam sejarah bangsa kita menjadi alasan kuat mengapa pesantren harus terus dijaga dan dikembangkan. Hingga kini, santri tetap menjadi bagian dari benteng moral dan intelektual bangsa, menjaga nilai-nilai keislaman yang toleran dan damai. Mereka terus membuktikan bahwa pendidikan di pesantren tidak hanya menghasilkan ulama, tetapi juga pemimpin dan profesional di berbagai sektor.


Jika saya bisa memilih ulang waktu masih di bangku sekolah menengah, mungkin saya akan masuk ke pesantren, pikir saya sambil mengetik ini. Tapi, takdir membawa saya pada jalan berbeda yang tetap membuat saya bersyukur. Lingkungan yang saya tempati saat ini membawa saya dekat dengan pesantren, bahkan memungkinkan saya terlibat langsung dalam pendampingan kualitas mutu pendidikan beberapa pesantren. Dari sini, saya semakin menyadari betapa luar biasanya sistem pendidikan yang ada di pesantren, baik dari aspek keagamaan maupun pembentukan karakter. Keterlibatan saya di dunia ini mengajarkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga sekolah kehidupan yang membentuk santri menjadi manusia tangguh, mandiri, dan berintegritas.


Refleksi: Santri dan Pesantren di Era Modern

Walau begitu, di luar sana masih ada yang mendeskreditkan dan meragukan keberadaan pesantren. Bagi sebagian orang yang mungkin sensitif atau kurang mengenal pesantren, lembaga ini dianggap ketinggalan zaman. Namun, saya melihat sebaliknya. Pesantren justru menjadi lembaga yang fleksibel, mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Saya semakin yakin bahwa pendidikan pesantren tetap relevan, bahkan penting, di era modern ini. Banyak alumninya yang berhasil menjadi pengusaha sukses, pemimpin di berbagai sektor, dan tokoh bangsa yang memberikan kontribusi nyata. Seperti halnya pada era baru pemerintahan saat ini, baik menteri atau badan lainnya, diisi banyak kalangan alumni santri. Ini membantah stigma bahwa santri adalah kalangan bawah berpakaian kemeja putih, sarung dan bersongkok dan tidak memiliki masa depan, seperti apa yang pernah saya dengar. 


Momen Hari Santri adalah saat yang tepat untuk merenung dan memberikan apresiasi kepada pesantren dan para santri yang telah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Sejarah telah membuktikan bahwa santri adalah penjaga dan penggerak moral bangsa, dan mereka akan terus berperan demikian di masa depan.


Picture by darunnajah.com

---

Meskipun saya bukan santri tulen, perjalanan ini membawa saya pada pemahaman yang mendalam tentang pesantren dan makna menjadi seorang santri. Dari luar, saya melihat keagungan yang ada di dalamnya—karakter yang ditempa dengan ketekunan, akhlak yang dijaga dengan ketat, dan ilmu yang dipelajari dengan hati yang terbuka. Pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi sebuah ekosistem yang membentuk manusia seutuhnya, baik dalam iman maupun amal.


Saya jadi teringat tokoh besar bersejarah, KH. Hasyim Asy'ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, pernah mengatakan bahwa pendidikan di pesantren adalah pendidikan karakter. Beliau menekankan bahwa ilmu pengetahuan saja tidak cukup tanpa akhlak yang baik. Kata-kata yang membuat saya terenyuh 

Jika ilmu tidak diiringi dengan akhlak yang mulia, maka ilmu itu akan melahirkan kecerdasan tanpa nurani,” ungkapnya. Ini adalah inti dari pendidikan pesantren, dimana ilmu agama dan pembentukan karakter menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.


Tak hanya itu, mantan Presiden ke-4 Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), yang juga seorang santri dan TebuIreng Jombangnya siapa yang tak mengenali? sering kali menegaskan peran besar pesantren dalam membangun identitas kebangsaan. 

Menurutnya, “Pesantren adalah benteng terakhir bangsa ini. Di sini kita menemukan kesederhanaan, kemandirian, dan integritas yang terus menerus diperbarui oleh semangat keagamaan.” Gus Dur melihat pesantren sebagai sumber kekuatan yang mampu mengokohkan fondasi moral bangsa sekaligus menjawab tantangan modernitas dengan bijak.


Hari Santri menjadi momen bagi kita, bukan hanya untuk merayakan, tapi juga untuk merenungkan—bagaimana para santri di seluruh penjuru negeri ini adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan masa depan bangsa. Dari sinilah saya belajar bahwa meski saya bukan santri tulen, semangat dan nilai-nilai luhur pesantren tetap mengalir dan membentuk saya hingga saat ini. Mereka yang pernah mencicipi kehidupan di pesantren, sejenak atau seumur hidup, adalah bagian dari ikatan tak terlihat yang terus membawa bangsa ini menuju puncak kejayaannya. Santri, baik tulen maupun 'dadakan' seperti saya, tetaplah pilar bagi masa depan Indonesia yang lebih bermakna. I'am believe it. Harap saya, jika bukan saya yang menjadi santri mungkin anak? cucu? atau siapapun kalian yang membaca, kelakar saya untuk menutup.. dari pribadi ini si 'Santri Rasa-Rasa'.


"Selamat Hari Santri Semangat Merawat Tradisi" 💫

Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi

Refleksi pagi menjelang siang di tengah kota yang panas terik, saya duduk di sudut ruang, membuka layar laptop dan sambil menyaksikan tontonan Youtube yakni menyaksikan live pelantikan presiden baru kita, Mr. President Prabowo Subianto. Udara hangat khas Surabaya terasa menyelimuti, sementara layar menampilkan sosok beliau yang gagah di podium, dengan gaya kepemimpinan lantang yang begitu khas. Saat Prabowo mulai memberikan pidato pembuka yang penuh semangat, pikiran saya pun melayang.


Baru saja saya menuntaskan membaca salah satu buku karya Edward de Bono, "Six Thinking Hats". Buku itu membahas cara berpikir yang berbeda-beda, yang bisa diterapkan dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam kepemimpinan. Rasanya tepat sekali, saya berpikir, bahwa dalam memimpin negara sebesar ini, ada banyak cara untuk menavigasi berbagai masalah dan tantangan. Sama seperti enam topi yang disebutkan de Bono, setiap pendekatan memegang peran penting. Metode ini memecah proses berpikir menjadi enam "topi" atau perspektif yang berbeda, di mana setiap topi melambangkan cara berpikir yang berbeda.


Coba saya review singkat dengan pendekatan yang berbeda yang diimplementasikan seorang pimpinan negara.

Picture by Jason Devers

1. Topi Putih: Fakta dan Data

Saat mendengarkan pidato, fakta-fakta dari pemilu masih segar dalam ingatan. Prabowo menang dengan suara mayoritas, janji-janji kampanyenya soal keamanan dan ketahanan nasional tampak ambisius, dan rakyat menaruh harapan besar di pundaknya. Di sini, fakta menjadi dasar karena tanpa pemahaman yang jelas tentang realitas, sulit untuk membuat keputusan yang tepat. Saya pun tersenyum, berpikir, dalam politik, topi putih ini sangat diperlukan sebagai pondasi yang kuat.


2. Topi Merah: Emosi dan Perasaan

Namun, di balik angka dan data, selalu ada "emosi yang berperan". Saat kamera menyorot wajah-wajah di antara para pendukungnya, saya bisa merasakan campuran antusiasme dan kegelisahan. Ada yang penuh harapan, ada pula yang skeptis. Ya, di situlah letak kekuatan topi merah. Tak ada salahnya menerima bahwa emosi baik positif maupun negatif selalu hadir dalam momen sebesar ini. Emosi-emosi inilah yang menggerakkan manusia, baik sebagai pemimpin maupun sebagai rakyat yang dipimpinnya.


3. Topi Hitam: Kritikan dan Risiko

Sebagai orang yang suka menganalisis, saya pun mulai memikirkan "potensi risiko". Setiap janji politik pasti memiliki tantangannya. Di tengah pidato yang lantang, saya membayangkan kritik yang mungkin muncul terkait kebijakan luar negeri yang keras, atau bagaimana Prabowo akan menghadapi perubahan iklim yang semakin mendesak. Ah, topi hitam ini memang selalu membawa kewaspadaan, dan mungkin itulah salah satu topi yang sering dipakai oleh mereka yang di luar lingkaran kekuasaan.


4. Topi Kuning: Optimisme dan Peluang

Tapi jangan salah, di tengah tantangan itu, selalu ada "peluang besar". Topi kuning mengingatkan saya bahwa terpilihnya Prabowo juga membuka kesempatan baru bagi Indonesia. Sebagai seorang yang tegas, mungkin dia akan berhasil memperkuat pertahanan negara, meningkatkan kemandirian pangan, dan menjadikan Indonesia lebih mandiri di bidang energi. Di sinilah letak pentingnya optimisme, melihat masa depan dengan harapan meski kita tahu banyak halangan yang menunggu.


5. Topi Hijau: Kreativitas dan Solusi Inovatif

Saat mendengarkan pidato yang penuh janji-janji besar, saya pun tak bisa menahan diri untuk berpikir tentang "solusi-solusi kreatif". Bagaimana jika Prabowo bisa mengadopsi teknologi pertanian modern atau memanfaatkan potensi digitalisasi ekonomi? Dunia terus bergerak maju, dan dengan topi hijau, kita diajak untuk berani bermimpi dan mencoba hal-hal baru. Siapa tahu, kepemimpinannya bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih inovatif.


6. Topi Biru: Kontrol dan Organisasi

Terakhir, tentu ada topi biru yang mengingatkan kita pada pentingnya pengorganisasian. Bagaimana pun juga, pelaksanaan janji-janji kampanye tak akan mungkin berhasil tanpa perencanaan dan manajemen yang baik. Sama halnya di bidang pendidikan, pemerintah perlu memastikan bahwa reformasi sistem pendidikan tidak hanya berhenti pada tataran wacana, tetapi juga diimplementasikan dengan baik di seluruh pelosok negeri. Kepemimpinan presiden baru harus memastikan sinergi antara kementerian, pemerintah daerah, dan institusi pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang merata..


Buku karya Edward De Bono "Six Thinking Hats" 

---

Duduk di sudut ruang yang masih diterangi matahari siang, saya berpikir bahwa memimpin negara ini membutuhkan lebih dari sekadar visi besar. Ini membutuhkan keseimbangan dari memahami fakta, merasakan emosi, menghadapi kritik, melihat peluang, menciptakan inovasi, hingga menjaga pengorganisasian yang baik. Sama seperti enam topi berpikir dari de Bono, setiap perspektif memiliki perannya sendiri.


Membaca buku Six Thinking Hats memberi saya perspektif baru bahwa memimpin, apalagi negara sebesar Indonesia, tidak hanya soal keputusan tunggal atau jalan satu arah. Setiap tantangan memiliki banyak sisi, dan cara berpikir yang beragam seperti yang ditawarkan dalam buku ini dapat menjadi pendekatan untuk mengatasi kompleksitas tersebut.


Dari sekadar memperhatikan pidato pembukaan new Mr. President ke-8  hingga berpikir lebih dalam tentang langkah ke depan, saya menyadari bahwa cara kita menilai kepemimpinan bukan hanya tentang janji-janji politik, tetapi bagaimana berbagai perspektif diterapkan secara bijaksana. Begitu pula dengan sektor pendidikan yang sangat krusial. Jika kita mampu menerapkan sudut pandang kreatif dan strategis, reformasi pendidikan yang kita butuhkan dapat lebih cepat terwujud dan beradaptasi dengan era modern yang terus berubah.


Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi


Pendekatan Keluarga: Cinta yang Menyembuhkan

Beberapa waktu lalu, saya melakukan sebuah riset yang membawa saya ke salah satu pondok pesantren di Kota kecil padat di Jawa Timur yang tak seperti pesantren pada umumnya. Pesantren ini memiliki misi yang unik dan mulia: menangani rehabilitasi sosial. Di dalamnya, bukan hanya santri biasa yang ingin mendalami ilmu agama, tetapi mereka yang datang dari latar belakang penuh luka, anak jalanan, pecandu narkoba, pengamen, dan berbagai jiwa-jiwa yang pernah tersesat dalam kegelapan hidup. Di tempat ini, mereka diberikan pendidikan, pembinaan, dan kegiatan positif yang mengubah hidup.


Saat pertama kali memasuki lingkungan pesantren ini, saya disambut suasana penuh kedamaian. Namun, di balik ketenangan itu, ada perjuangan berat yang dihadapi setiap santri. Saya segera tersadar bahwa mereka bukan hanya sedang mempelajari agama, tetapi juga berjuang melepaskan diri dari jerat masa lalu yang kelam. Kegiatan sehari-hari mereka diisi dengan rutinitas pesantren—shalat berjamaah, mengaji, bekerja di kebun pesantren, tetapi semuanya dilakukan dengan satu tujuan besar: pemulihan jiwa dan raga.


Sumber: Pinterest/Hill Firdaus

Dialog dengan Sang Kiai: "Mereka Semua Anak Saya"

Pada satu kesempatan, saya duduk bersama sang kiai, seorang pemimpin yang luar biasa sabar dan penuh kasih. Saya bertanya kepadanya tentang metode unik yang digunakan dalam pesantren ini, terutama bagaimana ia menangani para santri dengan latar belakang yang begitu beragam dan penuh tantangan. Percakapan kami berlangsung tenang, tetapi menyentuh hati.


"Kiai," saya membuka percakapan, "Bagaimana Anda bisa menangani mereka dengan begitu sabar? Saya lihat, di sini mereka bukan sekadar santri, tapi lebih seperti anak-anak yang Anda rawat dengan penuh kasih sayang."


Sang kiai tersenyum lembut. "Karena mereka memang anak-anak saya," jawabnya dengan tenang. "Di sini, kami tidak melihat mereka sebagai masalah atau beban. Mereka datang dengan luka, dengan masa lalu yang mungkin kelam. Tetapi di sini, kami percaya mereka bisa sembuh. Kami adalah keluarganya, dan keluarga harus selalu ada untuk mendukung satu sama lain, bukan?"


Saya merasakan kedalaman filosofi yang ia pegang. "Lalu bagaimana caranya pendekatan keluarga ini membantu mereka? Bukankah sebagian dari mereka sudah pernah menjalani rehabilitasi di tempat lain, tetapi tidak berhasil?" tanya saya penasaran.


"Sistem di sini berbeda," jawab kiai. "Kami tidak hanya mengandalkan aturan atau terapi yang kaku. Kami membangun kedekatan, memberikan kepercayaan, dan membuat mereka merasa diterima. Mereka harus merasa aman dan dicintai dulu sebelum bisa sembuh. Tanpa itu, rehabilitasi hanyalah rutinitas yang tak akan menyentuh hati mereka."


Sebagai seorang yang sedang melakukan riset awalnya saya kurang begitu meyakini akan apa yang disampaikan, sampai dengan pada saat  mendengarkan beliau menceritakan hal-hal tersebut, saya melihat dinding pojok banyak sekali penghargaan, foto dengan tokoh sampai dengan menteri yang membuat saya akhirnya meyakini apa yang telah dilakukan beliau adalah benar adanya. 


Momen Mengejutkan: Santri yang Mengalami Sakau

Salah satu momen yang tak akan pernah terlupakan adalah ketika saya menyaksikan seorang santri mengalami sakau di tengah proses rehabilitasi. Tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, dan ia tampak sangat kesakitan. Sebagai peneliti, tentu saya sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan, tetapi melihat langsung bagaimana ketergantungan narkoba menghancurkan tubuh dan jiwa seseorang adalah pengalaman yang menghantam hati.


Saya sedikit terkejut saat tahu bahwa santri ini, yang umurnya masih di bawah saya, pernah terjerumus dalam dunia narkoba. Dalam sesi wawancara ini, dia berbagi kisahnya yang begitu menggetarkan hati.


"Kamu mulai menggunakan narkoba pada umur berapa?" tanya saya memulai percakapan dengan hati-hati. "Umur 19 tahun," jawabnya sambil menunduk sejenak. "Saya berasal dari Sumatra, jauh dari sini. Sudah berkali-kali saya masuk pusat rehabilitasi. Setiap kali keluar, saya kambuh lagi. Rasanya nggak pernah benar-benar sembuh."


Saya mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Lalu, bagaimana kamu bisa sampai di pesantren ini?" "Keluarga saya sudah putus asa. Mereka dengar tentang pesantren ini dan pendekatan yang berbeda, jadi saya dikirim ke sini. Jujur saja, awalnya saya tidak terlalu berharap, karena sudah sering gagal di tempat lain."


Rasa penasaran saya semakin besar. "Tapi kamu terlihat baik sekarang. Berapa lama sudah di sini?"


"Baru dua minggu," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Tapi anehnya, di sini saya merasa berbeda. Biasanya kalau di tempat lain, satu atau dua hari sudah kumat, kejang-kejang. Tapi di sini, tidak pernah terjadi lagi."


Saya terkejut mendengarnya. "Hanya dua minggu dan kamu sudah merasa perubahan?" tanya saya tidak percaya.


Dia mengangguk. "Iya. Karena di sini suasananya beda. Saya merasa lebih nyaman. Kiai di sini memperlakukan kami seperti keluarga, bukan seperti pasien. Itu yang bikin saya merasa aman dan bisa mulai sembuh. Nggak ada yang menghakimi atau memperlakukan saya seperti orang yang rusak. Mereka percaya saya bisa berubah, dan itu memberi saya kekuatan."


Dialog ini membuat saya tersadar betapa kuatnya dampak pendekatan berbasis keluarga yang diterapkan di pesantren ini. Sesuatu yang mungkin dianggap sederhana, rasa nyaman, cinta, dan penerimaan, ternyata mampu menciptakan perbedaan yang luar biasa dalam proses rehabilitasi.


Namun, lebih mengejutkan lagi adalah bagaimana pesantren ini menangani situasi tersebut. Seorang kiai, dengan tenang dan penuh kasih sayang, mendekati santri itu. Alih-alih memberikan hukuman atau teguran keras, sang kiai memperlakukannya seperti seorang ayah yang merawat anaknya yang sakit. Dengan sabar, ia menenangkan santri tersebut, memberinya air, dan mengajak berbicara, seolah-olah rasa sakit yang dialami santri itu adalah bagian dari dirinya sendiri. Dalam setiap kata, dalam setiap sentuhan, ada cinta yang tulus. Saya menyaksikan bagaimana kiai ini, yang memimpin pesantren, tidak hanya menjadi guru atau pemimpin, tetapi juga figur ayah yang penuh perhatian bagi setiap santrinya.


Pelajaran Kehidupan: Pesantren sebagai Keluarga

Pengalaman ini membuka mata saya terhadap filosofi yang diterapkan di pesantren ini. Para santri tidak diperlakukan sebagai pasien atau sekadar orang yang harus “disembuhkan,” tetapi sebagai bagian dari keluarga besar pesantren. Di sini, setiap orang—apapun masa lalunya—dipeluk dengan kehangatan dan diterima dengan tangan terbuka. Pesantren ini menanamkan pada para santri bahwa mereka berhak untuk sembuh, berhak untuk memiliki masa depan yang lebih baik, dan berhak untuk dicintai tanpa syarat.


Kebersamaan dan kekeluargaan menjadi kunci utama dalam proses pemulihan. Para santri tidak hanya diajarkan tentang agama, tetapi juga tentang cinta kasih, tanggung jawab, dan solidaritas. Ketika ada seorang santri yang jatuh, yang lain akan mengulurkan tangan untuk membangkitkan. Ketika ada yang berjuang melawan masa lalu, seluruh pesantren akan berjuang bersama.


Dari kiai di pesantren ini, yang mengajarkan bahwa cinta dan perhatian jauh lebih efektif dalam proses rehabilitasi daripada sekadar aturan ketat atau hukuman. Baginya, setiap santri adalah seperti anaknya sendiri yang tersesat dan berusaha untuk pulang. Kiai ini dengan sabar membimbing mereka, bukan hanya untuk sembuh dari kecanduan, tetapi juga untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang hilang.


Refleksi: Ketika Agama dan Pemulihan Bertemu

Kisah pesantren ini mengajarkan saya bahwa agama bukan hanya soal ritual dan hukum, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat sesama. Di tengah krisis yang dihadapi banyak santri, pesantren ini menjadi oasis bagi mereka yang mencari kedamaian setelah badai kehidupan yang mengguncang. Melalui pendidikan, cinta, dan kebersamaan, pesantren ini berhasil membangun lingkungan yang tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga jiwa.


Di tempat ini, saya belajar bahwa pemulihan tidak bisa dilakukan sendirian. Butuh komunitas yang peduli, lingkungan yang mendukung, dan figur pemimpin yang penuh kasih seperti kiai di pesantren ini. Dalam setiap santri yang sembuh, ada kerja keras seluruh pesantren. Setiap langkah kecil menuju pemulihan adalah pencapaian besar bagi semua orang yang terlibat.


Sumber: MiftaArt


Ketika cinta dan ilmu bertemu dalam ruang pemulihan, saya teringat pada sebuah kutipan dari seorang tokoh besar, Imam Al-Ghazali, yang pernah berkata, "Cinta adalah sumber segala pengetahuan; tanpa cinta, tidak ada jalan menuju kebenaran yang sejati." Kata-kata ini begitu relevan dengan apa yang saya saksikan di pesantren rehabilitasi ini, sebuah tempat di mana cinta bukan hanya ungkapan kasih sayang, tetapi juga jembatan menuju pemulihan jiwa dan pencapaian ilmu. Di sini, cinta dan pengetahuan berjalan seiring, menciptakan ruang di mana para santri yang terluka dapat menemukan jalan untuk sembuh, bukan hanya dari ketergantungan fisik, tetapi juga dari kegelapan spiritual.


Pondok pesantren ini bukan hanya tempat rehabilitasi dalam arti klinis, tetapi juga menjadi wadah di mana cinta dan ilmu bekerja sama dalam proses penyembuhan. Ketika para santri datang dengan berbagai luka batin dan masa lalu yang penuh kesakitan, mereka tidak hanya dihadapkan pada serangkaian aturan dan terapi formal. Sebaliknya, mereka dirangkul dengan penuh kasih oleh para pengajar, diperlakukan sebagai bagian dari keluarga yang menginginkan kebaikan untuk mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa cinta dan ilmu memiliki kekuatan untuk memulihkan dan membangun kembali kehidupan yang telah hancur.


----

Akhirnya, pesantren rehabilitasi ini telah memberikan saya banyak pelajaran berharga, baik sebagai peneliti maupun sebagai manusia. Pendekatan berbasis keluarga yang diterapkan oleh sang kiai dan staf pesantren berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung proses penyembuhan yang mendalam dan penuh kasih. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa cinta, perhatian, dan penerimaan tanpa syarat bisa menjadi kunci utama dalam menyembuhkan luka-luka terdalam dari mereka yang pernah tersesat.


Kisah santri yang baru dua minggu berada di pesantren ini, tetapi sudah merasakan perubahan yang besar, adalah salah satu contoh dari banyak keajaiban yang terjadi di sini. Di balik dinding-dinding pesantren ini, ada harapan yang tumbuh, ada kehidupan yang dibangun kembali, dan ada cinta yang terus menyembuhkan.


Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi

Tesis Hasil Riset 




Bertemu Sang Pengelana: Sebuah Kisah Tentang Perjalanan, Pendidikan, Kehidupan, dan Kebahagiaan di Sudut-Sudut Nusantara


Suatu sore di hari Ahad sedang bekerja di depan laptop yang tenang di pojokan sebuah kafe, saya melihat seseorang yang tampak berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Kulitnya putih, rambutnya pirang, dan posturnya tinggi semampai. Dia duduk sendiri, terlihat menikmati kesendiriannya. Rasa penasaran saya memuncak, dan dengan spontan saya mendatanginya. “Hey, Mr. Nice to meet you.,” saya menyapa dengan bahasa Inggris, lalu menanyakan apakah saya bisa duduk dan mengobrol dengannya. Dengan senyuman hangat, dia mempersilakan.


Mr. William sebut saja, kami mulai berbincang, dan dalam waktu singkat, percakapan menjadi begitu hangat. Ternyata, dia adalah seorang traveler asal Prancis yang sedang mengelilingi pelosok Indonesia dengan motor roda tiga, varian unik yang ia sebut “VAR Indonesia” Dia sudah menjelajahi banyak tempat selama beberapa tahun belakangan ini, dari NTT di Kupang, NTB, hingga ke Borneo, dan saat ini dia sedang berada di Malang, Jawa Timur.


Sumber: IG.mytripmyviar

Mendengar bahwa dia telah mengunjungi beberapa tempat termasuk tempat kelahiran saya yakni tana Borneo, tepatnya di Balikpapan dan Samarinda, saya langsung menanggapi dengan antusias, “Oh, saya asli dari sana!” ucap saya dengan nada bangga. Ia menyebutkan bahawa perjalanan di Borneo diarasa kurang menyenangkan karna faktor cuaca yang pada saat itu sedang memasuki musim hujan. Kami pun bercanda sejenak, "Apakah Anda, Mr., tidak ingin kembali dan berencana mengunjungi IKN kami?" saya bertanya sambil tertawa kecil, merujuk pada proyek Ibu Kota Nusantara yang sedang digarap di Kalimantan Timur. Dia pun tertawa lepas sambil menjawab, “Tidak, saya tidak yakin dengan proyek ambisi itu,” katanya santai, dan kami berdua tertawa bersama dan tidak melanjutkan percakapan IKN tersebut.

Uniknya, percakapan kami berlangsung dalam bahasa Indonesia dengan sesekali campuran bahasa Inggris, karena ternyata dia sudah cukup lama berada di Indonesia. Bahasa Indonesianya cukup fasih, yang membuat obrolan kami semakin lancar dan hangat, seperti teman lama yang saling berbagi cerita.


Dia bercerita tentang pengalamannya berkeliling negeri ini, menemui orang-orang di tempat-tempat yang jauh dari hingar-bingar perkotaan. “Indonesia itu luar biasa,” katanya, “kehidupan di pedalaman begitu berbeda, tapi juga begitu indah.” Saat dia menceritakan kehidupan masyarakat di pelosok, saya terenyuh. Di tempat-tempat yang dia kunjungi, meski jauh dari kemewahan kota, ia menemukan kebahagiaan sederhana. “Orang-orang di sana mungkin tidak punya banyak uang, tapi senyum mereka adalah kebahagiaan yang sesungguhnya,” Ia memaknai bahwa kebahagiaan bukan hanya soal uang saja tapi bagaimana kebahagiaan bisa didapat dari apa yang ada disekitar kita, tambahnya. 


Saya tersenyum mendengar cerita itu, namun yang paling mengejutkan adalah ketika dia mengungkapkan bahwa masih ada daerah-daerah di Indonesia yang menggunakan sistem barter untuk bertransaksi. “Bayangkan, mereka masih saling menukar barang tanpa uang. Sesuatu yang mungkin sulit kita pahami di dunia modern ini,” katanya. lantas apakah ini terdengar oleh orang elitis diatas? entahlah..


Tapi aksi perjalanan dia bukan sekadar penjelajahan. Ternyata, dalam setiap perjalanan yang dia tempuh, dia juga membawa buku-buku untuk dibagikan kepada anak-anak di desa-desa terpencil. “Saya ingin mereka punya kesempatan untuk mengenal dunia lain melalui buku, walaupun mereka tinggal jauh di pelosok,” ucapnya penuh semangat.


Sumber: IG.mytripmyviar

Seiring obrolan, kami membahas tentang sistem pendidikan di negaranya, Prancis. Saya penasaran, mengingat pendidikan di Eropa selalu dianggap maju. Namun jawabannya sungguh mengejutkan. Dia berkata, "Pendidikan formal itu sering kali membuang waktu. Pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana kita belajar dari kehidupan, bukan dari buku teks.” Baginya, hidup di lapangan, berinteraksi dengan orang-orang, dan mengalami kehidupan secara langsung adalah bentuk pendidikan paling berharga. Dia percaya bahwa pendidikan tidak hanya soal duduk di kelas atau menghafal materi, tetapi lebih tentang memaknai dan menikmati kehidupan di dunia nyata.


Pernyataan itu benar-benar membuka pikiran saya. Bagaimana mungkin seseorang yang datang dari negara dengan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, Prancis, bisa memiliki pandangan yang begitu berbeda? Prancis dikenal dengan sekolah-sekolahnya yang terstruktur, dengan program pendidikan yang komprehensif sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sistem pendidikan Prancis memberikan kebebasan akademik, dan fokus pada pengembangan keterampilan analitis serta logika. Pendidikan di sana hampir seluruhnya gratis, dan pemerintah sangat mendukung akses yang setara untuk semua kalangan. Namun bagi dia, semua itu tak lebih dari formalitas. “Yang penting adalah apa yang kita lakukan, bagaimana kita hidup,” katanya, seolah pendidikan formal hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk belajar. Kemudian, terlintas pertanyaan difikiran saya, "Bagaimana dengan sistem Pendidikan di  Indonesia saat ini?"


Perbincangan dengan traveler Prancis itu meninggalkan kesan yang mendalam. Pengalaman yang dia ceritakan—tentang perjalanan melintasi Indonesia, sistem barter, hingga aksinya membagikan buku kepada anak-anak pelosok—mengingatkan saya akan pentingnya melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Di sisi lain, pandangannya tentang pendidikan mengajak saya untuk merenungkan kembali apa arti belajar sesungguhnya, dari pribadi ini yang berkecimpung di dunia pendidikan.


Ini mengingatkan saya pada salah satu filsuf pendidikan John Dewey, pernah berujar bahwa, "Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri." Apa yang disampaikan Mr. William tentang belajar dari kehidupan dan lapangan sungguh mencerminkan pandangan Dewey ini. Dia percaya bahwa pengalaman hidup sehari-hari memberikan pelajaran yang jauh lebih bermakna daripada sekadar teori di buku.


Pendidikan tidak harus selalu datang dari ruang kelas. Mungkin, belajar dari kehidupan dan pengalaman nyata, dari interaksi dengan orang lain, dari petualangan yang membuka mata, adalah cara terbaik untuk benar-benar memahami dunia ini. Di tengah kompleksitas pendidikan formal, terkadang kita lupa bahwa esensi belajar adalah bagaimana kita memaknai kehidupan. Dan itulah yang saya pelajari sore itu, dari seorang traveler asing yang penuh semangat, di pojokan sebuah kafe di Kota Malang.


Support: mytripmyviar (IG,Yt, Tiktok)

 

Menelisik Wajah Baru di Tana Pura Ngeriman Pembangunan Nyata atau Lip Service Semata?


Pilkada Kutai Barat mendatang membawa kemenarikan, dengan hadirnya tiga kandidat, baik wajah lama maupun baru. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan masa depan daerah ini. Namun, di balik euforia politik ini, Kutai Barat masih menghadapi sejumlah tantangan besar di berbagai sektor, mulai dari SDM, Pendidikan, Pembangunan yang belum optimal hingga isu-isu Pertambangan Ilegal yang terus menjadi masalah kronis.


Debat Publik Pertama dengan tema "Sumber Daya Manusia Berdaya Saing dan Pertumbuhan Ekonomi Berbasis Potensi Lokal menuju Kutai Barat Sejahtera dan Merata". Menjadi Topik bahasan debat kali ini yang bertempat di Grand Ballroom Hotel Mercure Samarinda. Senin, 14 Oktober 2024. 


Dalam pernyampaian Visi, Misi dan langkah strategis kedepan masing-masing kandidat memiliki kesamaan maupun perbedaan dalam fokus mewujudkan kemajuan Kutai Barat. Jika memperhatikan para kandidat ada rasa pesimisme dan sedikit optimisme, tidak bisa kita bantahkan kualitas calon pimpinan saat ini belum sepenuhnya bisa dirasakan langsung kinerjanya, padahal dari 3 kandidat sudah tak asing di perhelatan politik kabupaten Kutai Barat, baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun swasta.


*sumber:spiritfanfiction.com


Kondisi Terkini Kutai Barat: Sebuah Potret

Sebagai salah satu kabupaten penyangga IKN nantinya di Provinsi Kalimantan Timur, Kutai Barat memiliki potensi alam yang luar biasa, termasuk di sektor tambang, kehutanan, dan perkebunan. Namun, berbagai tantangan yang dihadapi menunjukkan bahwa pembangunan di Kutai Barat masih jauh dari kata optimal. Meskipun kekayaan alamnya sangat melimpah, manfaat yang dirasakan oleh masyarakat lokal masih minim.


Menurut data terbaru dari data statistik kubarkab.bps.go.id, "kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kutai Barat mencapai lebih dari 50%". Namun, ini ironis mengingat tingkat kesejahteraan masyarakat Kutai Barat masih berada di bawah rata-rata nasional, dengan angka kemiskinan sebesar 6,96% pada tahun 2022, meskipun menurun dibanding tahun sebelumnya. Pertanyaannya, ke mana hasil dari sumber daya alam yang melimpah itu mengalir?


Selain itu, sektor pertanian dan perkebunan, yang menjadi mata pencaharian banyak masyarakat Kutai Barat, juga belum mendapatkan perhatian yang memadai. Lahan sawah yang ada hanya sekitar 1.641 hektare, dengan mayoritas masyarakat bergantung pada tanaman padi ladang dan sawah tadah hujan, yang rentan terhadap perubahan iklim. Minimnya infrastruktur irigasi menjadi salah satu kendala besar dalam peningkatan produktivitas pertanian.


Sektor pariwisata, yang memiliki potensi besar karena keindahan alam dan kekayaan budaya Kutai Barat, juga masih tertinggal. Jumlah wisatawan yang datang ke Kutai Barat masih sangat rendah dibandingkan daerah lain di Kalimantan Timur. Padahal, daerah ini memiliki situs budaya seperti Lamin Adat Dayak Tunjung dan Aoheng, serta daya tarik alam seperti Air Terjun Jantur Gemuruh dan Danau Jempang, yang jika dikelola dengan baik bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat.

 

Tantangan Terbesar: Pertambangan Ilegal dan Pembangunan Berkelanjutan

Di antara berbagai sektor, Pertambangan Ilegal adalah tantangan terbesar bagi keberlanjutan pembangunan di Kutai Barat. Aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghambat pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan laporan dari berbagai organisasi lingkungan, "lebih dari 50% tambang batu bara di Kutai Barat beroperasi tanpa izin atau dengan izin yang tidak sesuai peruntukannya". Akibatnya, hutan yang seharusnya menjadi penopang ekosistem rusak parah, sementara pencemaran air dan tanah semakin meluas, mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.


*Sumber:pinterest/voaindonesia.com


Sayangnya, hingga kini belum ada tindakan yang signifikan dari pihak pemerintah daerah dalam menanggulangi masalah ini. Apakah para kandidat Pilkada kali ini memiliki solusi konkret untuk menghentikan praktik ini? Atau apakah mereka akan kembali memberikan “lip service” tanpa aksi nyata?

 

Wajah Lama dan Wajah Baru: Harapan Akan Solusi atau Pengulangan Masalah?

Dalam kontestasi Pilkada Kutai Barat kali ini, masyarakat akan dihadapkan pada tiga kandidat—baik wajah lama maupun baru. Wajah lama, yang telah memiliki pengalaman dalam pemerintahan, tentu membawa kelebihan dari segi pengetahuan tentang birokrasi dan tata kelola daerah. Namun, publik perlu mengajukan pertanyaan kritis: Mengapa, selama mereka menjabat, masalah-masalah mendasar seperti pertambangan ilegal, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan sumber daya alam belum dapat dituntaskan secara maksimal?


Wajah baru yang menawarkan ide-ide segar memang membawa harapan. Namun, mereka juga harus mampu menunjukkan rencana konkret yang dapat diimplementasikan. Visi yang baik tanpa strategi yang jelas tidak akan mampu menghadapi tantangan besar seperti penanganan pertambangan ilegal atau perbaikan infrastruktur yang sudah lama tertinggal.


Pada kenyataannya, infrastruktur dasar di Kutai Barat masih memprihatinkan. Akses jalan antar-kecamatan di beberapa wilayah masih sangat buruk, terutama di daerah pedalaman. Ini menyebabkan biaya logistik menjadi tinggi, sehingga harga-harga barang kebutuhan pokok pun meningkat, merugikan masyarakat.


Pendidikan: Kunci Masa Depan yang Terabaikan

Di tengah semua tantangan ini, pendidikan harus menjadi prioritas utama. Pendidikan yang berkualitas akan menjadi kunci bagi Kutai Barat untuk keluar dari berbagai masalah yang dihadapinya. Para kandidat Pilkada harus memiliki program yang jelas dan terukur untuk meningkatkan akses pendidikan, meningkatkan kualitas guru, serta mengembangkan fasilitas pendidikan yang lebih memadai. Pemerataan pendidikan hingga pelosok Kutai Barat harus diwujudkan agar anak-anak dari semua latar belakang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.


Peningkatan akses terhadap pendidikan tinggi juga harus menjadi bagian dari agenda besar para kandidat. Kutai Barat membutuhkan lebih banyak institusi pendidikan tinggi lokal yang saat ini belum ada atau belum maksimal keberadaannya yang dapat memfasilitasi generasi muda dalam mengejar pendidikan, tanpa harus meninggalkan kampung halaman mereka.


Solusi: Pembangunan Berkelanjutan yang Berbasis pada Pengelolaan Sumber Daya

Pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi prioritas utama siapapun yang terpilih. Pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lagi dilakukan dengan model eksploitatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Para kandidat harus memiliki rencana konkret untuk memastikan bahwa tambang dan sumber daya lainnya dikelola secara berkelanjutan, dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan dan memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat.


Peningkatan infrastruktur pertanian seperti irigasi dan penyediaan alat-alat modern juga perlu menjadi fokus. Sektor pertanian dan perkebunan bisa menjadi tulang punggung ekonomi Kutai Barat jika dikelola dengan baik, membantu menciptakan lapangan kerja baru dan menurunkan ketergantungan pada sektor pertambangan.


Selain itu, pariwisata berbasis budaya dan ekowisata juga bisa menjadi alternatif diversifikasi ekonomi. Namun, ini membutuhkan dukungan infrastruktur dan promosi yang serius dari pemerintah daerah. Pembangunan akses jalan ke destinasi wisata, pelatihan bagi masyarakat lokal untuk menjadi pelaku pariwisata, serta kolaborasi dengan investor potensial bisa membuka peluang baru bagi Kutai Barat di sektor ini.

---

*pinterest/pelitakarawang.com


Pada akhirnya, Pilkada Kutai Barat 2024 adalah ujian bagi calon pemimpin baru, apakah mereka mampu mewujudkan pembangunan nyata atau hanya memberikan janji manis tanpa tindakan. Kekayaan alam Kutai Barat adalah aset besar yang harus dikelola dengan bijak, bukan hanya untuk keuntungan jangka pendek, tetapi untuk kesejahteraan jangka panjang seluruh masyarakat.


Apakah wajah baru akan membawa perubahan atau hanya sekadar retorika? Apakah wajah lama bisa memperbaiki kegagalan masa lalu dan melanjutkan pembangunan dengan lebih serius? Yang jelas, masyarakat Kutai Barat membutuhkan pemimpin yang berani dan visioner, yang mampu mengatasi tantangan pertambangan ilegal, memperkuat sektor pertanian dan pariwisata, serta membangun infrastruktur yang layak.


Jika tidak, kita akan kembali menghadapi pertanyaan yang sama lima tahun lagi: Pembangunan nyata atau lip service semata?


Penulis: Ihsan Zikri Ulfiandi