Juni 2025 - Lens Of SAN

LENS OF SAN

Opini dan Refleksi Seorang Pencandu Martabak Manis

Artikel

baca dong kak :)

Hari ini tidak ada sorak-sorai. Tidak ada perayaan besar. Tapi ada ruang kecil dalam diri yang terasa cukup hangat untuk sekadar duduk, diam, dan merenungi—sudah sejauh mana kaki ini melangkah?


Dua puluh lima.

Aku menyebutnya "tumbuh tahun"sebuah fase di mana aku menyadari bahwa yang bertambah bukan hanya angka, tapi semestinya juga pemahaman, kepekaan, dan kedewasaan.

Bukan juga angka yang harus dirayakan secara ramai-ramai, tapi cukup penting untuk direnungi. Bahwa waktu terus berjalan, dan hidup perlahan mengajarkan bahwa kedewasaan bukan tentang usia semata, melainkan tentang bagaimana kita menjaga arah, menyadari nilai, dan terus bertumbuh meski tak selalu terlihat.

Tumbuh tahun adalah tentang proses, bukan selebrasi.


Perjalanan ke titik ini penuh simpul, ada pencapaian yang membahagiakan, ada kegagalan yang menguatkan. Ada orang-orang baik yang datang sebagai guru, dan ada kehilangan yang menyisakan jeda untuk belajar.


Masih punya ambisi. Masih ingin berkembang, masih ingin melangkah lebih jauh. Tapi mungkin bedanya, ambisi hari ini tidak lagi dibalut oleh ego ingin tampil. Lebih kepada bagaimana menjadi versi terbaik dari diri sendiri—dalam diam yang produktif, dalam kerja yang konsisten, dalam proses yang tidak selalu perlu diumumkan.


Kini mulai belajar bahwa menjadi utuh tidak bisa hanya dengan satu sisi. Maka perlahan mencoba menyeimbangkan:


  • Olah Rasa, agar peka terhadap sekitar dan tetap peduli meski terkadang sekitar memberikan feedback yang tak baik kepada kita. 
  • Olah Pikir, agar tetap tajam, rasional, tidak mudah terombang-ambing oleh arus yang ramai.
  • Olah Batin, agar niat selalu lurus, hati terhubung dengan nilai-nilai yang dalam, dan jiwa tetap kuat meski diuji.
  • Olah Raga, karena tubuh ini pun titipan, dan kesehatan adalah syarat untuk terus berkarya.


Semua itu membantu menjaga hubungan dengan yang diatas (ḥablum-minallāh)—dalam diam, dalam doa, dalam usaha. Juga menjaga hubungan dengan sesama (ḥablum-minannās)—dalam etika, tanggung jawab, dan cara menghargai orang lain. Di usia ini, ingin lebih sadar, lebih adil dalam relasi, dan tidak hanya sibuk mengejar dunia sendiri.


Rasa syukur juga tumbuh lebih jernih. Bukan hanya karena punya, tapi karena sadar bahwa tidak semua orang punya kesempatan yang sama. Bisa belajar, bisa sehat, bisa berkarya, bisa bermakna—itu saja sudah cukup untuk membuatku ingin melanjutkan hari dengan semangat yang baik.


Jika boleh meminta, aku ingin terus diberi kejernihan berpikir, keluasan hati, kesehatan tubuh, dan kesempatan untuk tumbuh dalam kebaikan. Ya, sebagaimana orangtuaku memberikan nama 'ihsan' yang berarti (kebaikan, berbuat baik). Untuk diriku sendiri, untuk orangtuaku, dan untuk siapa pun yang bisa merasakan dampak dari kehadiranku, sekecil apa pun itu.


Dua puluh lima bukan puncak. Tapi ini cukup untuk mengingatkan bahwa waktuku di dunia ini terbatas, dan aku ingin menggunakannya dengan baik. Tanpa banyak riuh, tapi tetap teguh.


Ucapku maaf atas lidah yang berucap menyakiti baik disengaja ataupun tidak untuk semua orang yang pernah berjumpa. 


I wanna say thankyou for me :) 

Teruslah belajar, bergerak, dan berdampak untuk kebermanfaatan dan kebahagiaan orang banyak meski belum terlihat. ✋


Alhamdulillah, Dua Puluh Lima. 

(Ahad, 03 Muharram 1447 H/29 Juni 2025 M).


Picture Angka Canva Design



Beberapa waktu terakhir, dunia kembali diguncang oleh eskalasi konflik militer. Dentuman rudal dari satu negara dibalas dengan serangan udara dari negara lain. Media menyorot ketegangan antara Israel dan Iran—dua negara yang sudah lama menyimpan sejarah permusuhan. Tapi sesungguhnya, kisah seperti ini sudah berulang-ulang terjadi. Mereka pernah saling menyerang pada 2004. Lalu berhenti. Namun, apakah berhenti berarti berdamai?


Jawaban yang jujur adalah: tidak. Dunia terlalu sering keliru memahami “tidak ada perang” sebagai “sudah damai.” Padahal bisa jadi, diam hanya berarti sedang menahan diri, atau menyusun balas dendam yang lebih besar.


Seperti yang ditulis oleh Johan Galtung, tokoh studi perdamaian dunia, dalam bukunya Peace by Peaceful Means (1996):

"Absence of violence is not peace. Peace is the presence of justice and equity."
(Tidak adanya kekerasan bukanlah perdamaian. Perdamaian adalah hadirnya keadilan dan keseimbangan.)

Konflik yang mereda karena tekanan politik, bukan karena hati yang telah berdamai, ibarat api yang hanya tertutup abu. Ia tetap panas. Dan ketika angin dendam kembali bertiup, ledakan itu tak terhindarkan.


Nafsu dan Dendam: Luka Lama yang Tak Diobati

Dalam ajaran Islam, kita diajarkan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Bukan tanpa sebab. Nafsu adalah sumber dari banyak kehancuran, keinginan untuk menguasai, membalas, menaklukkan. Dalam konteks ini, kita bisa merenungi kutipan dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:

"Musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri. Barang siapa mampu mengalahkannya, maka ia telah menang atas peperangan yang sejati."

Peperangan lahir dari peperangan batin yang tak selesai. Ketika pemimpin dan bangsa belum bisa mengendalikan nafsu berkuasa dan keinginan membalas, maka diplomasi hanya jadi jeda sebelum perang berikutnya.

Begitu juga dengan dendam. Dalam bukunya The Anatomy of Peace, The Arbinger Institute menulis:

"Dendam adalah bentuk lain dari keterikatan. Ia membuat kita tetap hidup dalam konflik, bahkan ketika senjata sudah diletakkan."

Dendam menjadikan kita tahan hidup dalam luka. Ia membuat generasi baru tumbuh dalam cerita masa lalu yang tidak mereka alami, tapi mereka rasakan bebannya. Ini mengapa banyak konflik dunia seperti lingkaran setan—tanpa ujung, tanpa penyelesaian.


Ketika Damai Jadi Pilihan Berani
Sering kali kita mengira bahwa damai itu pilihan yang lemah. Padahal, justru damailah pilihan yang paling berani. Karena ia menuntut pengakuan. Ia mengajak manusia menahan nafsu untuk membalas, dan memutus rantai dendam meskipun punya alasan kuat untuk melanjutkannya.

Seperti dikatakan Mahatma Gandhi dalam My Experiments with Truth:

"An eye for an eye only ends up making the whole world blind."
(Mata dibalas mata hanya akan membuat seluruh dunia menjadi buta.)

Kita hidup di dunia yang sudah terlalu lama buta oleh amarah. Saatnya kembali melihat dengan jernih. Bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa besar negara bisa menyerang, tetapi pada seberapa dalam ia bisa mengampuni.


Penutup: Damai Dimulai dari Dalam
Pada akhirnya, refleksi ini bukan hanya tentang Israel dan Iran, atau negara-negara lain yang berkonflik. Ini tentang kita semua—tentang bagaimana manusia, dalam skala pribadi maupun global, terus-menerus terjebak dalam siklus nafsu dan balas dendam.

Kita bisa belajar dari sejarah, dari kitab-kitab kebijaksanaan, dan dari luka-luka yang belum sembuh di dunia. Tapi yang lebih penting, kita harus mulai berdamai—dengan diri sendiri, dengan masa lalu, dan dengan orang lain.

Karena seperti yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam Twelve Steps to a Compassionate Life:

"Peace is not the absence of conflict, but the ability to cope with conflict peacefully."

Dan kemampuan itu hanya akan tumbuh jika kita cukup jujur untuk mengakui bahwa musuh terbesar kita—adalah diri kita sendiri.