Ketika lentera yang menerangi masa depan tak lagi dihargai, mungkinkah kita masih mampu berjalan menuju terang? ucapku dalam benak,
Diperjalanan hari ini yang hampir saja terlupakan, mencoba menyempatkan dan merefleksikan dalam bentuk tulisan singkat mengenai Hari Guru. Hari Guru seharusnya menjadi momen penuh syukur untuk mengenang jasa mereka yang tak kenal lelah membimbing langkah kita. Namun, di balik kemeriahan perayaan, ada realitas yang sering luput dari perhatian, guru-guru yang bertahan dalam sunyi, berjuang di tengah keterbatasan, dan kadang kala harus menghadapi ketidakadilan. Kasus Supriyani di Konawe Selatan adalah salah satu cerminan getirnya kondisi ini seorang guru honorer dengan gaji hanya Rp300.000 per bulan, dituduh menganiaya anak dari seorang oknum polisi, dan harus menghadapi proses hukum yang melelahkan sebelum akhirnya dinyatakan tidak bersalah.
Refleksi ini mengajak kita merenungkan,
Sudah sejauh mana kita benar-benar peduli terhadap mereka yang telah mencurahkan jiwa dan raga untuk membangun masa depan bangsa?
Hari Guru Nasional tahun ini membawa kabar yang menggugah hati: Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, akhirnya dinyatakan bebas setelah menghadapi tuduhan menganiaya anak dari seorang oknum anggota polisi. Kasus ini berakhir setelah proses persidangan selama sebulan, di mana pada Senin (25/11/2024), Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan bahwa Supriyani tidak bersalah atas tuduhan pemukulan. Putusan ini berdasarkan bukti dan keterangan saksi yang menguatkan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan.
Namun, kasus ini menyisakan luka yang mendalam dan membuka mata kita terhadap realitas kehidupan para guru honorer. Supriyani, yang digaji hanya Rp300.000 per bulan, menjalankan tugasnya dengan segala keterbatasan. Ia harus menghadapi tuduhan berat dan proses hukum yang melelahkan, padahal tanggung jawab yang diembannya adalah mendidik generasi bangsa. Kisah ini bukan hanya soal ketidakadilan, tetapi juga potret bagaimana profesi guru, terutama honorer, masih berada dalam posisi yang rentan baik secara hukum, kesejahteraan, maupun penghormatan sosial.
Kompleksitas persoalan ini semakin terasa jika kita melihat kasus serupa di berbagai daerah. Guru sering kali menjadi korban kriminalisasi karena ketidakjelasan regulasi atau miskomunikasi dengan masyarakat. Di sisi lain, kesejahteraan guru, terutama honorer, masih jauh dari kata layak. Gaji yang tidak memadai dan beban kerja yang berat menjadi realitas pahit yang mereka hadapi setiap hari. Belum lagi stigma negatif dan kurangnya penghormatan terhadap profesi ini, seperti kasus di mana guru dilaporkan oleh orang tua hanya karena memberi hukuman mendidik.
Melihat kondisi ini, perlindungan hukum bagi guru menjadi kebutuhan mendesak. Revisi kebijakan pendidikan harus memberikan ruang aman bagi guru dalam menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan kriminalisasi. Pendampingan hukum perlu disediakan, terutama bagi guru honorer yang rentan menghadapi masalah hukum. Selain itu, masyarakat perlu diedukasi untuk lebih memahami peran guru sebagai pembentuk generasi masa depan, sehingga konflik dan kesalahpahaman dapat diminimalkan.
Hari Guru seharusnya bukan hanya perayaan, tetapi juga momentum refleksi bagi kita semua untuk mendukung para pendidik yang menjadi pilar kemajuan bangsa. Dukungan konkret berupa peningkatan kesejahteraan, perlindungan hukum, dan penghargaan adalah langkah nyata yang harus segera diwujudkan.
![]() |
| by keyxx |
Guru, terima kasih telah bertahan meski sering terlupakan. Supriyani dan para guru lainnya adalah inspirasi tentang keteguhan hati di tengah berbagai tantangan. Kami berharap, kelak setiap langkah kalian dilindungi, dihargai, dan dirayakan. Dari tangan kalian, cahaya pengetahuan terus menyala untuk menerangi bangsa ini.
Terima kasih telah bertahan, wahai pahlawan tanpa tanda jasa.
Dari kami, penikmat jasamu.
